Thursday, September 13, 2012

SORE DI PERPUSTAKAAN

Sore sepulang beraktivitas, saya merencanakan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan di sebuah Perguruan Tinggi di kota Bandar Lampung yang bisa saya masuki leluasa meski saya bukan Mahasiswa Kampus tersebut. Terkadang menghabiskan waktu berjam jam di sebuah Perpustakaan yang lengang adalah sebuah moment dimana saya bisa membangkitkan gairah menulis, menganalisa, bahkan memupuk banyak ide ide yang muncul karena terinspirasi oleh banyak hal yang saya baca. Berlama lama dalam sebuah Perpustakaan telah saya lakukan sejak jaman Sekolah Menangah Pertama dulu. Terlebih saya bukanlah sosok pelajar yang populer di lingkungan sekolah. Saya pula bukan sosok murid dari keluarga terpandang atau berharta, sehingga kondisi tersebut membuat saya tidak bisa menghabiskan waktu berlama lama dalam kantin untuk makan sekenyangnya, atau tidak pula mampu membuat saya berlenggang santai di pusat perbelanjaan akibat tipisnya uang saku yang orang tua saya berikan. Hingga kini, kebiasaan meluangkan waktu dalam Perpustakaan seolah menjadi menu wajib di kala senggang selain berkunjung ke beragam Toko Buku dengan hanya sekedar membaca synopsis buku baru atau best seller kemudian merencanakan untuk membelinya ketika ada pos keuangan yang cukup untuk membeli buku setelah pos pengeluaran sandang dan pangan rumah tangga kecil saya tercukupi. Sore itu, - seperti biasa – saya mengambil posisi di pojokan Perpustakaan dengan kapasitas tempat duduk cukup ramai. Dan ketika itu, telah ada lebih dulu beberapa mahasiswa yang juga menempati tempat duduk di beberapa tempat. Beruntung saya masih mendapatkan sudut baca yang cukup ideal (menurut saya) – berada di sudut ruangan, kursi single bersandar di dinding menyudut, setengah tertutup oleh rak buku memanjang arah vertical tepat di depan, sehingga jika saya duduk maka hanya pundak saya saja yang terlihat dari kejauhan. Selain itu ada bentangan kaca jendela yang cukup besar di sebalh kiri yang sekali waktu bisa saya pergunakan untuk melihat aktivitas beberapa mahasiswa di luar ruang perpustakaan. Dalam Perpustakaan dimana saya duduk, ada sekitar 14 orang mahasiswa beraneka gender dan usia maupun rupa. Diantara mereka ada yang sibuk main games, beberap diantaranya berdiskusi, banyak diantaranya bercerita yang tak ada hubungannya dengan buku apapun karena mereka tidak memegang buku apapun sebagai bahan bacaan atau diskusi. Dan hanya beberapa yang memang terdiam menyimak buku yang mereka pegang. Nah, dari sekelompok orang yang bercerita tersebutlah kemudian membuat saya tertarik untuk sesekali waktu mendengar. Karena telinga saya berfungsi dengan baik, dan pembicaraan para mahasiswa dan mahasiswi tersebut bebas mengembara ke dinding dinding perpustakaan tanpa alat peredam suara karena serunya cerita yang cenderung membicarakan hal hal remeh temeh semisal kisah tentang kekasih baru atau selingkuhan mereka, Gedjed terbaru, trend mode mutakhir, sampai pada tempat nongkrong teranyar. Pada saat yang sama, melalui kaca jendela ruangan saya melihat sekelompok mahasiswa asik berbincang di luar perpustakaan, tepatnya di halaman kampus. Hanya beberapa yang memang berbincang mengenai mata kuliah atau tugas yang mereka dapatkan sebagai mahasiswa. Dari kebisingan yang terjadi di dalam ruangan perpustakaan tersebut, kemudian membuat saya tertarik untuk sedikit menyimak bahwa mereka – para Mahasiswa yang asik bercerita dan berbincang banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan atau buku bacaan perpustakaan tersebut, justru adalah mereka yang memiliki kemampuan komunikasi hanya sebatas bercerita dan berbincang seru semata. Faktanya, tak semua mahasiswa kini, mampu dan memiliki kemampuan berkomunikasi sesuai dengan apa yang di harapkan dalam pelajaran setaraf mahasiswa. Gemar membaca di kalangan mahasiswa sangatlah rendah. Dan tentu saja kemampuan komunikasi efektif di kalangan mahasiswa juga rendah. Sebagai seorang pengajar perguruan tinggi, saya kerap menemukan mahasiswa yang sulit sekali bicara di depan kelas pada saat harus mempresentasikan tugas yang di buat. Tak banyak mahasiswa yang dapat melakukan komunikasi dengan lugas. Ini masih dalam tataran mahasiswa di kelas berhadapan dengan sesama mahasiswa – rekan sekampus. Bagaimana jika hal ini terjadi ketika mahasiswa di hadapkan pada kemampuan komunikasi di depan public ; para pemerintah atau pengusaha misalnya , yang mengharuskan mahasiswa memiliki kemampuan komunikasi yang efektif dan persuasive. Belum lagi kecenderungan mahasiswa (dan bahkan sebagian besar masyarakat Indonesia) yang memang gemar berbicara dari pada membaca. Inilah yang kemudian membuat saya menganalisa bahwa gemar membaca di kalangan remaja atau mahasiswa lah yang kemudian membuat mahasiswa tersendat dalam hal kemampuan berkomunikasi. Sedikitnya acuan, fakta atau data yang semestinya bisa mereka dapatkan dari buku bacaan atau sumber data lainnya lah yang membuat kosakata dalam berkomunikasi jadi tersendat. Sehingga minimnya kemampuan komunikasi tersebut dapat memicu adanya tawuran antar pelajar atau mahasiswa. Ketidakmampuan Mahasiswa mengkomunikasikan maksud dan tujuan serta visi dan misi dirinya maupun keinginannyalah yang kemudian menyulut pertengkaran di tengah merek intelegensia yang mustinya ada dalam sosok seorang “Maha – Siswa” . Dalam tahap ini, saya juga kerap melihat adanya ketimpangan yang besar antara kemampuan bercerita yang cenderung ‘ngerumpi’ dengan kemampuan personal dalam berkomunikasi dengan baik. Hingga tidak heran ketika saya lihat banyak yang berbincang dari pada yang benar benar membaca dalam perpustakaan karena mereka lebih berminat ‘ngerumpi’ dan bicara panjang lebar akan banyak hal ketimbang memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan dan ketajaman analisa melalui buku yang mereka baca.

No comments:

Post a Comment