Monday, September 17, 2012

TREND SDM COMOTAN

Kemarin, ketika Pekan Olah Raga (PON) berlangsung di Pekanbaru – Riau, saya tertarik dengan salah satu komentator di layar televisi yang mengungkap adanya atlet cabutan, bayaran atau atlet yang di sewa oleh Provinsi satu untuk membela Provinsi lainnya. Misal, Atlet yang sebenarnya tercatat sebagai atlet dengan daerah asal Jawa Tengah, tetapi karena si atlet di bayar lebih mahal (mungkin) maka ia membela nama Provinsi lain. Bermula dari komentar di layar televisi tersebut kemudian saya tertarik menjadikannya bahan perbincangan di kalangan beberapa olahragawan yang saya kenal di Bandar Lampung. Dan uniknya ternyata hal tersebut memang telah menjadi rahasia umum di kalangan atlet maupun Dinas olah raga di tiap provinsi di Negeri ini. Bukan hal aneh jika seorang atlet kemudian menjadi pembela bagi provinsi lain hanya karena bayarannya. Hal ini bisa jadi karena bayaran provinsi lain lebih besar dari bayaran di Provinsi asal. Belum lagi kesejahteraan si atlet yang sudah barang tentu akan di jamin oleh provinsi dimana ia di bayar mahal tersebut. Selain itu perbincangan berkembang ke masalah serius atau tidaknya Pemerintah daerah setempat membina atlet yang berpotensi. Karena tidak semua Pemda Provinsi di negeri ini benar benar serius memupuk prestasi dan loyalitas atletnya dengan baik dan berkesinambungan. Ada pula Pemda yang menggampangkan urusan atlet. Hingga yang lebih tak mengenakkan jika Pemda melakukan pengambilan atlet dari luar negeri atau bahkan benar benar melakukan ‘pembelian’ atlet tersebut dengan harga tinggi asal bisa membawa nama provinsinya ke ajang laga tingkat nasional. Berdasarkan sekelumit tema perbincangan tentang dunia atlet yang juga ada unsur bayar membayar, comot mencomot antar kota antar provinsi, saya jadi teringat akan kebiasaan pemilihan Muli Mekhanai / Duta Wisata di Provinsi Lampung. Sudah bukan rahasia ummum lagi, bahwa yang mewakili sebuah nama Kabupaten di ajang pemilihan tingkat provinsi bukanlah warga asli dari Kabupaten tersebut. Sebenarnya hal ini tidaklah terlalu significant karena Pemerintah Kabupaten memang berhak mengutus siapapun untuk mewakili kabupaten di laga tingkat provinsi. Tapi hal unik lainnya muncul ketika kabupaten mengambil sumber daya manusia, berupa sosok pria atau wanita yang kelak di gadang gadang akan menjadi Jawara Duta Wisata daerah dari luar kota apalagi dari Ibu kota Jakarta dengan telah berstatus sebagai pekerja seni, model, atau bahkan public figure di Jakarta. Pernah pula sepengamatan saya, satu kabupaten mengutus Warga Asing / ‘Bule’ dalam ajang pemilihan Duta Wisata tingkat Provinsi di salah satu tahun pemilihan. Untungnya Panitia jeli dan melakukan diskualifikasi terhadap hal ini. Tetapi di beberapa tahun kemudian, sistem utusan yang bisa di bilang ‘eksodus’ atau sosok luar kota yang di ‘tempeli’ duta kabupaten ini lah yang kemudian kembali marak di tahun tahun kedepan. Karena sudah terbukti, dari jajaran Finalist yang menang sebagai jaura satu adalah sosok yang berasal dari Jakarta, bukan sosok remaja asli daerah. Kembali lagi ke persoalan perlombaan, hal semacam ini lumrah adanya. Toh tujuannya untuk memenangkan perlombaan. Tetapi jika di telaah berdasarkan tujuan pelaksanaan event tentu hal ini bertentangan. Layaknya Pemilihan Duta Wisata Daerah adalah untuk mencari sosok remaja putra putri terbaik di daerah yang bisa membawa nama daerah menjadi lebih baik melalui karya nyata dan pembuktian sebagai pemenang minimal satu tahun bertugas kepada khalayak. Dan bagaimana mungkin ada pembuktian nyata secara langsung jika yang juara adalah seorang yang berdomisili asli luar kota. Sistem seperti ini bisa jadi memang tidak menjadi pemikiran jeli para panitia pelaksana. Mungkin juga tidak ada aturan dan tata tertib yang jelas mengenai syarat detail peserta perlombaan. Karena dari sosok SDM luar kota ada pula sosok SDM antar kabupaten dan kotamadya yang saban tahun, wara wiri berpindah pindah kota atau kabupaten guna mengikuti ajang Pemilihan Duta Wisata di tingkat Provinsi. Dengan beragam tujuan, yang kesemuanya bermuara pada pencapaian hadiah atau peng-koleksi-an selempang finalist atau pemenang. Dan lagi lagi Panitia nampak tutup mata dan tidak terlalu mengindahkan akan keikutsertaan peserta yang berkali-kali setiap tahun seperti ini dengan beda beda nama kabupaten yang mereka wakili. Sebagai acuan dari pengamatan saya tentang aturan ‘straight’ akan peserta pada ajang Duta Wisata tingkat Provinsi adalah di Jawa Timur. Di Provinsi Jawa TImur, Keikutsertaan Raka Raki (Duta Wisata Jawa TImur) harus benar benar warga asli dari Kabupaten atau Kotamadya di Jawa Timur. Sebagai contoh, jika seorang finalist Cak Ning Surabaya ikut serta dalam pemilihan tingkat Provinsi di tahun yang sama, maka Paguyuban Cak dan Ning Surabaya akan mem-black list nama personal tersebut, dan pihak Panitia pelaksana Pemilihan tingkat Provinsi (Raka Raki) pun tidak akan menerima sang personal yang memakai nama Kabupaten lain karena ia telah masuk dalam jajaran Cak NIng Surabaya. Begitupun peserta lainnya. Aturan dalam Pemilihan Raka Raki Jawa Timur cukup ketat dalam kepesertaan setiap tahun pemilihan. Peserta yang mewakili kabupaten, haruslah benar benar warga Kabupaten tersebut di buktikan dengan KTP asli dan juga surat pengantar meski kuliah bisa jadi di kotamadya. Tapi apalah artinya KTP dan surat pengantar jaman sekarang yang bisa di manupulasi. Karena jika di Lampung, warga asli Ibukota Jakarta dan jelas jelas bertempat tinggal di Jakarta pun boleh saja ikut pemilihan di Provinsi Lampung mewakili salah satu nama Kabupaten. Hal ini tentu berdampak pada pengembangan aset SDM daerah. Karena, pelaksanaan Pemilihan Duta Wisata tentu di harapkan lahir sosok remaja putra dan puteri yang memiliki visi dan misi bersinergi dengan pemerintah daerah yakni selalu bersedia memberikan kontribusi berupa karya dan acara yang mereka buat guna menjadikan remaja lainnya jadi tergerak untuk melakukan hal hal positive di kemudian waktu. Tapi tentu lain hal nya jika tujuan utama Pemilihan Duta Wisata Daerah adalah untuk kegiatan tahunan yang sayang untuk di lewatkan., Karena kembali lagi ke tujuan Panitia, apakah benar - benar mencari re-generasi terbaik dengan memanfaatkan Sumber Daya Manusia daerah dengan semaksimal mungkin, atau hanya untuk kegiatan glamour tahunan dengan hasil megah dan meriah sebagai ujung dari pelaksanaan, tapi nihil karya dan pembuktian sebagai pemenang hingga bertemu lagi di tahun mendatang sebagai acara rutin tahunan.

No comments:

Post a Comment