Monday, September 24, 2012

KISAH SORE INI ; VISUAL PROFESIONAL.

Sejujurnya saya tidak terlalu suka keramaian. Jika pun saya berada dalam keramaian pastilah saya menjadi bagian dari keramaian itu, entah sebagai pemandu acara, penyanyi, panitia atau peran lainya. Selebihnya saya tak suka berada di sebuah event yang hanya jadi penyemarak saja. Tapi lain hal nya jika konser music. Bagi saya, kenyamanan dapat saya temukan ketika saya berjam jam memasuki dunia maya dan berada dalam bangku nyaman saya di rumah persis di balik lemari buku yang sewaktu waktu membantu saya ketika butuh referensi. Kenyamanan bagi saya juga terjadi ketika berlama lama di dalam kamar mandi, menikmati khayalan tingkat internasional yang kerap saya dengung dengung kan dalam benak. Lalu kesenangan pribadi lainnya adalah ketika berlama lama dalam Perpustakaan atau Toko Buku. Selebihnya adalah keluarga dan dunia kerja. Tapi tidak dengan sore ini. Saya harus – mau tak mau, mengikuti ajakan seseorang untuk melakukan pertemuan di pusat keramaian, tepat nya mall. Seseorang – calon klient yang telah panjang lebar melakukan penjelasan melalui pesan singkat dan akhirnya bermuara pada ajakan pertemuan untuk membicarakan konsep detail event yang kelak pemandu acaranya di percayakan pada saya. Tak perlu terlalu lama menunggu, saya pun bertemu dengan sang Klient. Saya memberikan penghargaan tinggi atas kedisiplinan klient saya tersebut. Tak perlu menunggu ber jam jam untuk sebuah kehadiran yang kadang cenderung membosankan. Setelah di sepakati, akhirnya obrolan kami lakukan di sebuah café kecil di dalam mall. Tak jauh pusat Food Court. Penjelasan demi penjelasan dari klient sangat saya simak sekali. Hingga sumber suara memecah keseriusan saya menyimak. “…Maaf, mas berdua mau pesan apa …? “ Pelayan Pria menghampiri. “ … Saya Cappuccino …” ucap saya segera, seolah tak mau berlama lama ada pelayan di antara saya dan klient karena saya tak begitu suka suasana Café dimana kami berada. “… oke, Cappuccino nya dua .” klient saya menambahkan. “…Mau pesan makanan ringannya sekalian, mas ?”, Tanya si pelayan kembali. “ … tidak, terima kasih …” sahut saya segera, tanpa menoleh ke arah si pelayan. “ … kami punya Pisang Keju Sekalian dan Chicken Drum Stick yang lezat, lho …” si pelayan melakukan penjelasan layaknya promosi iklan televisi. Dan di sesi ini saya sudah mulai tidak nyaman, dan sedikit menunjukkan bahasa tubuh yang memang tak nyaman dengan tawaran di pelayan. “… boleh, kami pesan masing masing satu dari apa yang Anda tawarkan.” Ujar Klient saya segera setelah ia melihat bahasa tubuh saya yang tak nyaman dengan promo sang pelayan. “… baik, ada tambahan lainnya, mungkin ?.” Tanya pelayan kemudian sesaat setelah ia mencatat. “ Tidak terima kasih” sahut saya segera seraya melemparkan senyum ala kadarnya sebagai penegas agar si pelayan segera beranjak dari tempat duduk kami. Si Pelayan pun berlalu. Dan klient saya berkata “kamu kasar sama si pelayan”. “hah, saya, kasar…” ucap saya menanggapi. “ bahasa tubuh saya masih jauh lebih baik, lho. Ketimbang kata kata kasar ?” jelas saya kemudian. “ Kata kata mu memang tidak kasar. Tapi bahasa tubuh yang tidak tepat jauh lebih kasar ketimbang sekedar kata kata.” Jelas klient ku singkat sebelum ia melanjutkan penjelasan konsep event ke saya. Dari kejadian tadi. Terkadang saya atau siapapun yang pekerjaannya berhubungan dengan banyak orang, cenderung tidak mengindahkan yang namanya bahasa tubuh. Bukan hanya sekedar sebuah pelengkap, ternyata bahasa tubuh bisa memberi efek besar, bahkan jauh lebih besar di bandingkan kata kata yang keluar dari mulut kita. Klient saya kemudian melanjutkan bahwa bahasa tubuh yang tepat akan sangat mempengaruhi apa yang kita maksud dengan sangat jelas. Karena tidak semua kata kata yang terucap dapat di terima secara gambling layaknya bahasa tubuh yang sudah nampak secara visual. Dilain kesempatan, terkadang kita memang harus bisa menempatkan diri dalam banyak situasi. Saya – yang kerap melakukan beragam aktivitas yang berhadapan dengan orang banyak, tak setiap saat bisa mengendalikan diri dan pembawaan. Kadang bersinggungan dengan banyak orang kerap membuat kita salah menempatkan pembawaan hingga tak sedikit yang salah arti. Dan uniknya tak semua orang orang pintar dan merasa senior di tempat kerja atau bidang pekerjaannya mampu mensiasati diri dalam pembawaan, bahasa tubuh dan kata kata. Terkadang ada yang bahasa tubuhnya datar tapi kata kata yang keluar dari mulutnya sangat pedas. Tapi ada yang kata kata terlontar sangat biasa tapi bahasa tubuh yang cenderung merendahkan. Ini semua bisa jadi lemahnya pemahaman Anger Management atau Management Emosi. Seorang DIVA POP International – Madonna, mengungkapkan dalam buku biography nya, bahwa ; … Profesi apapun di dunia ini jika berhadapan dengan khlayak ramai/public hendaknya mampu mengontrol diri dan emosinya agar tidak terlihat yang sebenarnya. Bahkan Madonna menjelaskan bahwa sebagai pribadi di larang keras untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi baik melalui kata kata maupun melalui bahasa tubuh pada semua orang terutama pada orang orang yang tidak menyukai anda. Nah, kemudian saya jadi teringat ketika saya harus bersumringah di tengah keramaian meski sebenarnya saya lagi tidak suka beramah tamah. Pernah pula saya harus memperlihatkan bahasa tubuh antusias meski sebenarnya saya sedang tidak antusias sama sekali. Begitu pula kadang ketika membawakan acara, saya di tuntut untuk ‘tune in’ atau ‘nge-bland’ dengan konsep acara tak perduli apapun yang terjadi pada diri saya pribadi. Meski sedang sedih, berusahalah tertawa dan cheer up ketika berada di depan orang banyak atau di panggung. Ketika sedang ada masalah besar melanda pada diri atau keluarga, berupayalah sekuat mungkin untuk menunjukkan bahwa tidak terjadi apapun yang buruk dengan kita. Dan mengontrol kalimat yang terucap, menunjukkan bahasa tubuh serta bersikap seolah semua baik baik saja ketika berada di depan banyak orang adalah salah satu sikap professional yang harus di miliki oleh siapapun yang bekerja di depan umum. Sama hal nya yang saya lakukan di Sore ini, ber pura pura menikmati keramaian dan hiruk pikuknya Café, Food Court dan pusat perbelanjaan meski sebenarnya saya tidak nyaman sekali berada di tengah itu semua. Tapi setidaknya Job MC terdampar pada saya setelah pembicaraan konsep tersepakati. Alhamdulilah.

Wednesday, September 19, 2012

PRIBADI NYINYIR

Dulu, saya mengenalnya sebagai pribadi yang baik. Itu dulu. Karena sebuah hubungan kerjasama. Kemudian menjadi hubungan baik, akhirnya saya tahu bahwa pribadi yang saya kenal baik itu menampakkan aslinya. Tapi saya masih tidak begitu menghiraukan, karena saya berfikir saya juga bukan pribadi yang baik. Nobody is Perfect. Begitu saya berfikir sejak dulu hingga kini dan sampai kapan pun. Saya tentu tidak bisa menerima sebuah pribadi yang juga benar benar sama persis dengan saya. Karena tentu tidak ada. Tapi sebagai pengecualian saya juga bisa berdamai dengan ketidaksamaan pribadi saya dengan pribadi siapapun yang saya anggap dekat dengan baik. Berdasarkan kedekatan baik, sebuah pertemanan kemudian berkembang menjadi kedekatan bak persaudaraan. Kemudian saya mengenal sosok baik itu lama kelamaan selalu memperburuk keadaan dengan menceritakan banyak sisi buruk beberapa personal lain yang sebenarnya saya juga kenal. Pernah suatu ketika ia menjelekkan pribadi lain dengan mengemukakan kekurangan dan beberapa hal buruk dalam diri orang tersebut. Pernah pula ia merasa kesal karena seorang yang ia kenal dekat melakukan sesuatu yang di anggapnya ‘melangkahi’ dengan membeli ponsel merek terbaru (hal sepele), ‘Melampaui kemampuannya’ begitu ia sampaikan pada saya. Yang tak saya habis fikir., mengapa di matanya semua orang selalu memiliki kekurangan yang tak bisa ia terima dan tak ia sukai ?. Mengapa setiap pembahasan selalu masalah kekurangan dan perbedaan yang tak bisa ia terima sebagai personal yang menurutnya beda ?. Apakah baginya dirinya pribadi sudah jauh lebih baik dari orang yang ia nilai ?. Dan kini, ia tentu telah menyebar berita buruk dan negative pula tentang saya. Saya yakin itu. Semenjak saya jarang datang dan juga selalu telat bayar tagihan arisan. Saya memang akui itu kesalahan saya. Tapi bukan berarti lantas, ia – sosok yang mungkin menurutnya sangat sempurna itu, bisa dengan bebas mencampuri urusan pribadi saya dengan memberi saran begini dan begitu. Bukan berarti pula kedekatan selama ini lantas membuat dia bisa “seenak jidad” masuk dalam kawasan pribadi saya dengan mencampuri secara detail apa yang boleh saya beli dan tidak boleh saya beli. Termasuk mengomentari bahwa saya sebenrnya (menurut dia) belum pantas membeli mobil mengingat kondisi ekonomi saya yang (lagi lagi menurut dia) belumlah semapan dia (mungkin). Tapi jika dia punya pemikiran yang ‘high’ dan berfikir secara agama (apalagi gelar nya sebagai Hajjah) tentu tidak pantas ia menilai dan mengatur serta mencampuri saya se-jauh itu. Karena jika ia fikir lagi, apakah dengan saya membeli mobil lantas mengurangi penghasilan dia ?, apakah saya meminta uang pada nya untuk membayar bayaran bulanan mobil saya ?, apakah saya meminta makan di rumahnya , sehingga merugikan dia ?. Jika ‘isi kepalanya’ sehat tentu dia jauh paham akan jawaban yang tepat mengingat usia nya yang sudah jauh lebih tua di banding saya. Jujur saja semua pesan singkatnya tidak saya baca. Saya malas menghabiskan waktu berharga saya untuk membaca SMS nya yang sudah pasti isinya sok menggurui seolah dialah yang paling benar dan sempurna. Oke saya memang ada salah. Tapi bukan berarti hanya karena telat membayar arisan kemudian dia bisa mengumbar keburukan saya ke orang lain, kemudian mengutus orang lain untuk mencari keburukan keburukan saya yang lain, dan yang lebih fatal (bagi saya) kemampuannya memasuki ranah privacy saya. Dan untuk yang terakhir itu, saya mengambil sikap untuk me-remove dia dari friend list di ponsel saya. Dan kemudian mengambil sikap diam tak meng-acuhkan meski saya yakin dia ‘naik pitam’ dan mencari banyak sumber yang juga tak menyukai saya lalu berkomplot dan membentuk group ‘Pembenci’ Indra. Hahahhaha….Untuk yang terakhir ini, lagi lagi saya Tidak Perduli. Bagi saya, di musuhi orang orang berpribadi negative dan tidak ada pengaruh apa apa, itu lebih baik ketimbang kehilangan 1 orang yang saya anggap berpribadi positive dan memang berguna bagi kemajuan saya secara personal maupun karier. Dan selalu saya tekankan, bahwa kedekatan sebagai teman atau partner kerja bukan berarti bisa leluasa memasuki ranah pribadi. Profesionalisme dalam bekerja dan berhubungan dengan orang lain tentu juga mengusung kemampuan tahu batasn antara yang personal dan umum. Ada hal hal yang bisa di masuki sebagai hubungan pertemanan tapi ada pula yang hendaknya di ‘batasi’ untuk di campuri. Atau mungkin memang sudah tampak sebuah budaya, bahwa menilai orang lain itu lebih mudah ketimbang menilai diri sendiri. Layaknya menasehati orang juga mudah tapi menerapkan apa yang di nasehatkan ke diri sendiri pastilah sulit. Tapi sayangnya tak semua orang memahami hal tersebut. Seperti kata pepatah, Semut di puncak Gunung terlihat, tapi Gajah di depan mata malah tak terlihat.

Tuesday, September 18, 2012

TAK TERSAMPAIKAN

Malam baru saja datang. Dan saya sebenarnya sudah merasa lapar. Tapi hasrat untuk menuangkan segala rasa ke dalam tulisan lebih besar ketimbang mengunjungi rumah makan idaman. Beberapa menit lalu saya sudah mengirimkan pesan singkat ke istri bahwa akan pulang lebih larut malam karena masih ada urusan. Urusan ?, ya tentu urusan pribadi yang bersifat sangat personal. Saya sering sekali mengalami sebuah rasa yang tidak mau saya katakana ‘Bad Mood’, saya lebih suka mengungkapkannya dengan kata ‘Mentok’. Bagi saya Bete atay Bad mood dapat berpengaruh pada kualitas spirit personal. Tapi jika mentok tentu saya masih sangat berupaya sekeras mungkin melakukan sesuatu untuk mencari jalan keluar. Nah, malam ini, saya merasa ada yang tidak singkron antara semangat yang saya usung dengan kenyataan di sebuah pertemuan yang baru saja berlangsung tadi sore. Sebenarnya pertemuan kecil itu sangat saya harapkan bisa memunculkan banyak ide atau perubahan yang cukup baik bagi semua. Bukan untuk saya saja, atau bukan untuk sebagian orang yang ada dalam pertemuan itu. Pertemuan yang di gagas oleh rekan saya itu nampaknya berlangsung biasa biasa saja. Tak begitu di respon sebagai sebuah kesempatan. Ya, kesempatan. Tak semua pribadi yang saya kenal baik dapat memanfaatkan kesempatan dengan baik pula. Tak semua individu mampu melihat peluang dalam segala macam bentuk dan beragam sudut pandang. Banyak orang yang hanya terpaku pada sesuatu yang bernilai dan berbentuk secara kasat mata. Tapi tidak semua orang mampu melihat apa yang di usung bersama menjadi satu kesatuan atau kesamaan gerak yang kemudian bisa memunculkan kesempatan yang bisa di manfaatkan sebagai peluang baik di depan. Setidaknya kesempatan juga berfungsi sebagai pembelajaran bagi pribadi yang tentu ingin berkembang jadi lebih baik lagi. Itu pun kembali pada kemauan individu apakah ingin menjadi pribadi lebih baik lagi atau cukup nyaman menjadi diri sendiri yang selama ini berada dalam zona nyaman dan tak berharap untuk menantang diri dalam sebuah kesempatan yang tak semua orang memiliki. Oh, ia. Dalam kondisi ini, perut saya mulai berkicau ricuh. Bisa jadi cacing dalam tubuh saya telah meronta dan melompat tak berirama karena ingin segera mendapat subsidi makan malam bergizi. Ya, saya kemudian merasa lapar. Tapi lagi lagi saya tak tergerak untuk makan. Meski saya tahu saya mengidap maag. Dan beberapa jam lalu saya menyeruput secangkir kopi hitam nan kental di sebuah pertemuan. Lalu pandangan saya kesegala penjuru, berpendar dalam remang lampu lampu, dan tak terbatas lagi langit biru karena warna ungu gelap mengelana dalam satu waktu. Tak ada rembulan. Sama dengan tak ada semangat dalam gairah apapun. Semua kosong. Nyaris hampa tanpa ada isi apapun juga. Bisa jadi saya tidak meminta untuk di isi. Saya hanya minta untuk di beri kesempatan untuk melihat sebuah kesempatan. Tak banyak memang yang memahami apa yang kini sedang saya harapkan dari sebuah pergerakan akan pencapaian. Tak semua pribadi se-visi dan memiliki “Passion” seperti yang saya miliki. Itu tidak masalah. Hanya saja terkadang orang orang tidak melihat celah untuk jadi pribadi lebih baik lagi dalam perspective yang sama dengan apa yang saya lihat. Jujur saya terkadang timbul rasa malas ada di posisi ini. Posisi yang selalu menyemangati dan menawarkan banyak kesempatan tanpa perlu di bayar tetapi tidak ada sedikit perhatian bahkan mengindahkan apa yang di usung sejak dulu sebelum segalanya bertemu. Dan itu berasa seperti sebuah pengharapan yang sia sia. Jangankan di tanggapi. Di dengarkan dengan baik pun tidak. Jauh jauh dari solusi, di lihat pun saja tidak.

UNWELCOME

Aaahh…. Sudah berbuih buih rasanya mengalir dari mulut ini tapi tetap saja tak ada hasil. Yang di ajak bicara hanya mengernyitkan dahi dan sesekali tersenyum antara paham dan tidak paham. Antara menyambut baik dan menghiraukan. Segalanya terlihat jelas. Ini lah perjuangan. Dimana ada yang menerima dan tidak. Di antara banyak celaan dan kemudian di tanggapi dengan gurauan. Antara semangat dan acuh tak acuh. Di situlah letak akan banyak hal. Ketidaksamaan Visi dan Missi terlebih Passion yang jauh berbeda. Ketidaksingkronan antara hati dan jiwa, terlebih rasa dalam segala kesempatan yang bisa saja tercipta. Kamu tidak sama sekali menggubris kesempatan. Kesempatan untuk melakukan pembuktian. Bukan pada siapa siapa, tapi pada Diri mu saja. Tak lebih. Dan ternyata itu pun tak bisa. Tak bisa kau sanggupi.

Monday, September 17, 2012

TREND SDM COMOTAN

Kemarin, ketika Pekan Olah Raga (PON) berlangsung di Pekanbaru – Riau, saya tertarik dengan salah satu komentator di layar televisi yang mengungkap adanya atlet cabutan, bayaran atau atlet yang di sewa oleh Provinsi satu untuk membela Provinsi lainnya. Misal, Atlet yang sebenarnya tercatat sebagai atlet dengan daerah asal Jawa Tengah, tetapi karena si atlet di bayar lebih mahal (mungkin) maka ia membela nama Provinsi lain. Bermula dari komentar di layar televisi tersebut kemudian saya tertarik menjadikannya bahan perbincangan di kalangan beberapa olahragawan yang saya kenal di Bandar Lampung. Dan uniknya ternyata hal tersebut memang telah menjadi rahasia umum di kalangan atlet maupun Dinas olah raga di tiap provinsi di Negeri ini. Bukan hal aneh jika seorang atlet kemudian menjadi pembela bagi provinsi lain hanya karena bayarannya. Hal ini bisa jadi karena bayaran provinsi lain lebih besar dari bayaran di Provinsi asal. Belum lagi kesejahteraan si atlet yang sudah barang tentu akan di jamin oleh provinsi dimana ia di bayar mahal tersebut. Selain itu perbincangan berkembang ke masalah serius atau tidaknya Pemerintah daerah setempat membina atlet yang berpotensi. Karena tidak semua Pemda Provinsi di negeri ini benar benar serius memupuk prestasi dan loyalitas atletnya dengan baik dan berkesinambungan. Ada pula Pemda yang menggampangkan urusan atlet. Hingga yang lebih tak mengenakkan jika Pemda melakukan pengambilan atlet dari luar negeri atau bahkan benar benar melakukan ‘pembelian’ atlet tersebut dengan harga tinggi asal bisa membawa nama provinsinya ke ajang laga tingkat nasional. Berdasarkan sekelumit tema perbincangan tentang dunia atlet yang juga ada unsur bayar membayar, comot mencomot antar kota antar provinsi, saya jadi teringat akan kebiasaan pemilihan Muli Mekhanai / Duta Wisata di Provinsi Lampung. Sudah bukan rahasia ummum lagi, bahwa yang mewakili sebuah nama Kabupaten di ajang pemilihan tingkat provinsi bukanlah warga asli dari Kabupaten tersebut. Sebenarnya hal ini tidaklah terlalu significant karena Pemerintah Kabupaten memang berhak mengutus siapapun untuk mewakili kabupaten di laga tingkat provinsi. Tapi hal unik lainnya muncul ketika kabupaten mengambil sumber daya manusia, berupa sosok pria atau wanita yang kelak di gadang gadang akan menjadi Jawara Duta Wisata daerah dari luar kota apalagi dari Ibu kota Jakarta dengan telah berstatus sebagai pekerja seni, model, atau bahkan public figure di Jakarta. Pernah pula sepengamatan saya, satu kabupaten mengutus Warga Asing / ‘Bule’ dalam ajang pemilihan Duta Wisata tingkat Provinsi di salah satu tahun pemilihan. Untungnya Panitia jeli dan melakukan diskualifikasi terhadap hal ini. Tetapi di beberapa tahun kemudian, sistem utusan yang bisa di bilang ‘eksodus’ atau sosok luar kota yang di ‘tempeli’ duta kabupaten ini lah yang kemudian kembali marak di tahun tahun kedepan. Karena sudah terbukti, dari jajaran Finalist yang menang sebagai jaura satu adalah sosok yang berasal dari Jakarta, bukan sosok remaja asli daerah. Kembali lagi ke persoalan perlombaan, hal semacam ini lumrah adanya. Toh tujuannya untuk memenangkan perlombaan. Tetapi jika di telaah berdasarkan tujuan pelaksanaan event tentu hal ini bertentangan. Layaknya Pemilihan Duta Wisata Daerah adalah untuk mencari sosok remaja putra putri terbaik di daerah yang bisa membawa nama daerah menjadi lebih baik melalui karya nyata dan pembuktian sebagai pemenang minimal satu tahun bertugas kepada khalayak. Dan bagaimana mungkin ada pembuktian nyata secara langsung jika yang juara adalah seorang yang berdomisili asli luar kota. Sistem seperti ini bisa jadi memang tidak menjadi pemikiran jeli para panitia pelaksana. Mungkin juga tidak ada aturan dan tata tertib yang jelas mengenai syarat detail peserta perlombaan. Karena dari sosok SDM luar kota ada pula sosok SDM antar kabupaten dan kotamadya yang saban tahun, wara wiri berpindah pindah kota atau kabupaten guna mengikuti ajang Pemilihan Duta Wisata di tingkat Provinsi. Dengan beragam tujuan, yang kesemuanya bermuara pada pencapaian hadiah atau peng-koleksi-an selempang finalist atau pemenang. Dan lagi lagi Panitia nampak tutup mata dan tidak terlalu mengindahkan akan keikutsertaan peserta yang berkali-kali setiap tahun seperti ini dengan beda beda nama kabupaten yang mereka wakili. Sebagai acuan dari pengamatan saya tentang aturan ‘straight’ akan peserta pada ajang Duta Wisata tingkat Provinsi adalah di Jawa Timur. Di Provinsi Jawa TImur, Keikutsertaan Raka Raki (Duta Wisata Jawa TImur) harus benar benar warga asli dari Kabupaten atau Kotamadya di Jawa Timur. Sebagai contoh, jika seorang finalist Cak Ning Surabaya ikut serta dalam pemilihan tingkat Provinsi di tahun yang sama, maka Paguyuban Cak dan Ning Surabaya akan mem-black list nama personal tersebut, dan pihak Panitia pelaksana Pemilihan tingkat Provinsi (Raka Raki) pun tidak akan menerima sang personal yang memakai nama Kabupaten lain karena ia telah masuk dalam jajaran Cak NIng Surabaya. Begitupun peserta lainnya. Aturan dalam Pemilihan Raka Raki Jawa Timur cukup ketat dalam kepesertaan setiap tahun pemilihan. Peserta yang mewakili kabupaten, haruslah benar benar warga Kabupaten tersebut di buktikan dengan KTP asli dan juga surat pengantar meski kuliah bisa jadi di kotamadya. Tapi apalah artinya KTP dan surat pengantar jaman sekarang yang bisa di manupulasi. Karena jika di Lampung, warga asli Ibukota Jakarta dan jelas jelas bertempat tinggal di Jakarta pun boleh saja ikut pemilihan di Provinsi Lampung mewakili salah satu nama Kabupaten. Hal ini tentu berdampak pada pengembangan aset SDM daerah. Karena, pelaksanaan Pemilihan Duta Wisata tentu di harapkan lahir sosok remaja putra dan puteri yang memiliki visi dan misi bersinergi dengan pemerintah daerah yakni selalu bersedia memberikan kontribusi berupa karya dan acara yang mereka buat guna menjadikan remaja lainnya jadi tergerak untuk melakukan hal hal positive di kemudian waktu. Tapi tentu lain hal nya jika tujuan utama Pemilihan Duta Wisata Daerah adalah untuk kegiatan tahunan yang sayang untuk di lewatkan., Karena kembali lagi ke tujuan Panitia, apakah benar - benar mencari re-generasi terbaik dengan memanfaatkan Sumber Daya Manusia daerah dengan semaksimal mungkin, atau hanya untuk kegiatan glamour tahunan dengan hasil megah dan meriah sebagai ujung dari pelaksanaan, tapi nihil karya dan pembuktian sebagai pemenang hingga bertemu lagi di tahun mendatang sebagai acara rutin tahunan.

Sunday, September 16, 2012

KARENA SEMUA BEBAS MEMILIH





Jam dinding menunjukkan pukul 4.30 pagi. Tentu ini bukan malam lagi, dan pesta telah berakhir. Saya mencoba bangkit dari beberapa tubuh teman teman yang masih terlelap tidur dengan beragam gaya yang jauh dalam kondisi wajar. Ada yang tertidur melintang di atas ranjang, ada yang tertidur di kursi sudut ruangan dengan mulut menganga, ada yang tertidur di bawah meja besar yang diatasnya bertengger Televisi berwarna layar datar 32 inchi. Dan masih banyak gaya tidur di beberapa tempat lainnya. Dengan kondisi yang masih mengantuk, saya coba menegakkan tubuh yang berasa nyaris runtuh menuju kamar mandi. Di kamar mandi, kondisi berantakan yang tak beda dengan sudut lainnya di ruangan hotel megah berbintang 4. Tisu berserakan dimana mana, belum lagi bau alkohol yang sangat mencekak penciuman. Ada beberapa puntung rokok berserakan, berdampingan dengan botol botol bir dan beraneka bungkus makanan ringan yang isinya pun terburai kesegala penjuru ruangan. Ya, alcohol. Jenis minuman itu pula yang nampaknya sempat saya nikmati beberapa teguk semalam.

Pesta memang telah usai. Dan meninggalkan bekas kelelahan di tubuh tubuh lemah terkulai di segala penjuru kamar hotel. Ruang kamar mewah yang sewajarnya di huni maksimal 4 orang, tetapi penuh sesak oleh 13 orang beragam gender. Tak ada beda antara pria dan wanita. Dan saya lah orang ke tiga belas itu. Saya pula lah yang lebih awal bangun karena alarm di handphone mengingatkan untuk shalat subuh. “Percuma shalat subuh!!”, pekik saya dalam diri. Malu rasanya menghadap Sang Pencipta dalam keadaan bercampur alkohol meski sedikit sisa pesta semalam. Setelah membasuh wajah dengan air dingin di kamar mandi , saya menjinjit kearah tumpukan teman teman yang masih tertidur lelap, berusaha mencari jacket yang ada kunci kendaraan di dalamnya. Saya juga nyaris lupa letak jacket itu. Untunglah ditemukan.

Di luar kamar hotel telah cukup terang benderang. Tampaknya matahari bergegas datang menyambut hari minggu. Ternyata semalam benar benar menjadi pesta yang glamour - uncontrol. Beberapa kendaraan teman terparkir dengan sembarangan di depan kamar hotel. Untung saya memarkir kendaraan di depan lobby. Petugas security sempat menyapa saya dan sedikit memandang curiga ketika berpapasan menuju lahan parkir depan lobby hotel.

Begitulah setidaknya sisa sebuah pesta. Pesta yang terkadang harus saya ikuti karena merupakan penghujung dari sebuah gelaran event yang melibatkan saya sebagai bagian dari acara di dalamnya.

Semalam, selain pesta yang meriah dan sedikit liar tersebut. Saya juga menjumpai beberapa rekan lama yang telah berubah. Benar – benar berubah layaknya superhero di layar perak. Ada teman yang dulu saya kenal sebagai sosok pendiam, semalam telah berubah liar dan ganas bak macan tutul siap menerkam siapa saja. Ada pula teman yang dulu saya kenal sangat soleha dan begitu santun, semalam nampak aslinya dengan agresif bak piala bergilir dari satu pelukan ke pelukan lain. Ada pula teman yang merayakan kebersamaan dengan asik bercumbu satu sama lain meski sebenarnya saya tahu mereka telah memiliki pasangan hidup masing masing di rumah. Ada pula sosok yang dulu saya kagumi semalam malah jadi sosok yang menyebalkan dengan tingkah lakunya yang tak lagi menyenangkan.

Tak ubahnya seperti saya, yang juga terlibat dalam pesta tersebut. Saya juga jadi bagian yang menikmati kebersamaan. Bagai kehidupan yang hedonis, mereka nampak begitu menikmati segalanya. Karena mereka memang dapat memilih apa yang mereka mau. Yang pria bisa saja memilih liar dengan para wanita. Yang pria bisa pula memilih menjadi simpanan para ibu ibu muda yang haus akan belaian pria yang lebih muda karena suami mereka yang tak pernah ada di rumah karena sibuk kerja dan kerja. Atau yang pria bisa saja jadi kekasih teman pria nya dengan terang terangan mem-publish kepada semua undangan bahwa mereka pasangan pria yang baru saja menikah di Belgia. Ada pula yang wanita yang menerangkan dirinya telah menjadi simpanan anggota dewan yang bertubuh gembul dengan ukuran kelamin tak lebih dari kelingking. Ada gadis manis berperawakan baik mengungkapkan dirinya bangga dengan profesinya sebagai pemuas nafsu siapa saja yang ingin bercumbu dengannya dengan hitungan biaya bayaran per jam. Ada wanita dewasa yang dengan bangga mengakui statusnya sebagai penjual wanita wanita muda dengan kedok biro jasa pendidikan multi talenta.
Itulah sedikit gambaran profesi baru dari orang orang lama yang saya tahu dan saya jumpai semalam. Malam minggu yang cukup semarak bagi saya. Mengenal mereka di antara ratusan pengunjung sebuah party di bilangan pusat hiburan ibu kota. Berakhir dengan cerita dan pengakuan dari bibir mereka langsung. Entah dengan kesadaran penuh atau bualan karena minuman yang memabukkan.

Memang perubahan manusia tidak bisa di prediksi akan menjadi apa di kemudian kelak. Pilihan pilihan profesi yang mereka jalani adalah keinginan kuat dari mereka secara individu yang tak bisa di bantah. Bahkan mungkin oleh orang tua nya sekalipun. Apa pun yang mereka jalankan. Meski pendidikan mereka telah tamat sarjana, bukan tidak mungkin profesi ‘gelap’ yang mereka lakoni adalah sebuah jalan yang mereka ingini. Bisa jadi di depan orang tua dan keluarga, mereka jadi sosok yang membanggakan dan berkesan baik baik layaknya anak anak pada keluarga lainnya. Tapi di balik itu semua tak ada satu pun yang tahu apa yang sebenarnya mereka lakoni. Bisa jadi hanya mereka secara individu dan Tuhan sang pencipta lah yang tahu. Kehidupan glamour yang mereka lampiaskan sebagai bagian dari profesi mudah yang mereka fikir tak perlu bersusah payah bekerja. Menjadi simpanan, gigiolo, pria simpanan pria, gadis nakal, mucikari, atau apapun namanya adalah pilihan yang memang mereka pilih untuk diri mereka sendiri dan yang mereka anggap nyaman untuk hidup mereka. Setidaknya saya sebagai pribadi selalu menghormati pilihan yang mereka anut. Tak ada yang salah dengan mereka. Yang salah adalah keadaan yang mungkin membuat mereka jadi demikian. Sebagai teman tentu saya hanyalah sebatas teman. Tidak berhak memberi penilaian terlalu jauh apalagi ‘cap’ dosa pada mereka. Karena apapun yang saya lakukan meski tidak seperti profesi mereka bukan berarti saya lebih baik dari mereka. Setidaknya mereka mampu berbagi kebahagiaan pada saya dan semua yang datang di acara tersebut. Meski yang saya tahu kebahagiaan yang seperti itu bukanlah kebahagiaan yang sejati. Karena kelak akan terbukti ketika tidak lagi jaya, mana teman yang sejati dan mana yang hanya imitasi alias hanya numpang bersenang senang belaka, selebihnya lari meninggalkan yang tak lagi berseri.

Saturday, September 15, 2012

SETIDAKNYA ADA 'PRIVILEGES'



Saya bukanlah seorang yang kaya raya, juga bukan anak orang kaya hingga punya warisan banyak yang bisa menyebabkan saya jadi Kayak arena keturunan. Orang tua saya pun bukanlah orang terpandang. Tapi, untuk beberapa hal dan beberapa kesempatan, saya kerap mendapatkan perlakuan yang sama dengan orang kaya. Perlakuan yang sama baiknya.


Tapi saya bisa menikmati fasilitas bak kalangan sosialita. Untuk bermalam di beberapa hotel di Bandar Lampung misalnya, terkadang bisa saya dapatkan dengan harga istimewa, karena saya mengenal dengan baik bahkan membina hubungan dekat dengan para Marketing, Public Relation atau bahkan Pemilik dari hotel tersebut. Sehingga tak heran jika saya bisa dengan leluasa bersantai di Lobby jika ingin suasana lain untuk membangkitkan gairah menulis saya. Atau bahkan saya sengaja datang lebih pagi di hotel yang saya kenal beberapa pegawainya dan kemudian dengan mudah saya dapatkan sarapan pagi gratis. Tentu hanya buat saya saja, tidak untuk jumlah banyak. Begitu pula halnya dengan beberapa Cafe & Lounge atau pun restaurant. Tak sedikit tempat bisa memberi potongan harga khusus bagi saya terlebih ketika sang pemilik sedang berada di tempat dan melihat wajah saya.

Tapi di sisi lain, tak semua keistimewaan tersebut benar benar bisa saya nikmati layaknya sebuah perlakukan istimewa. Karena ada beberapa waktu hal tersebut membuat saya tak nyaman. Bukan berdalih bahwa saya merasa terkenal. Tetapi menjadi sosok yang di kenal beberapa pihak menjadikan saya justru harus menjaga sikap bila di depan public. Tapi bukan berarti pula saya lantas begitu ‘kuat’ menjaga image. Karena ada beberapa kesempatan dan sesuai kondisi saya sangat bisa menjadi diri saya yang sebenarnya tanpa perlu saya tutupi atau pun menjadi orang lain. Di kala bersama dan di tengah banyak orang saya bisa menjadi diri sendiri tapi tetap menunjukkan performa yang maksimal. Tak banyak dari beberapa kesempatan yang membuat saya harus menjadi orang lain (walau beberapa saat) karena hal tersebut terkadang memang di perlukan.


Bagi saya, mengenal dan di kenal banyak pihak pihak berpengaruh itu jauh lebih penting ketimbang apa yang saya lakukan di tempat umum. Terkadang saya harus sekuat jiwa menyesuaikan diri dengan mereka yang memang jauh lebih berpengalaman dari saya dan memang sangat punya pengaruh di dalam pergaulan dan dunia yang mereka tekuni. Meski begitu, beberapa keadaan memang membuat saya untuk menikmati apa yang sedang saya jalani. Sebagai Pemandu beberapa Acara, Penyanyi Resepsi Pernikahan, sebagai Mentor sebuah Organisasi Pemuda, sebagai Seorang Suami dan Ayah 3 anak, sebagai pekerja, rekanan bisnis, atau sebagai teman bermain, saya tentu di tuntut pandai pandai memainkan segala peran tersebut dengan baik sesuai porsi dan kapasitas saya. Sejauh ini, semua ternikmati dan terjalani dengan sangat indah. Segala ada kisah. Dan kisah ini begitu menyenangkan.

Friday, September 14, 2012

TEMANKU, BUKAN TEMANKU

Kemarin, saya mencoba menikmati berjalan kaki dari rumah menuju keramaian perempatan jalan yang berjarak lebih kurang 1 kilometer. Kemarin malamnya lagi, saya malah men-suggest diri mendapatkan ide segar dengan cara menikmati kesendirian di balkon belakang rumah dan berfikir banyak hal nyaris 4 jam.!! Hahah. Saya memang sering melakukan hal hal yang biasa saya anggap sebagai ritual dalam dunia indra yang bersifat spontan bahkan jauh dari perkiraan saya atau siapapun sebelumnya. Saya suka hal hal yang mendadak untuk menguji adrenalin agar lebih berani terhadap apapun yang sekiranya nanti datang secara tiba tiba dalam jejak langkah kehidupan ke depannya. Dalam kesendirian, saya kerap menemukan kenyamanan. Sebuah kenyamanan untuk lebih mengenal diri sendiri lebih baik lagi. Setidaknya hal tersebut adalah bagian dari upaya mengenal diri sendiri jauh lebih baik ketika saya bersama teman teman. Bicara tentang teman teman, terkadang tak semuanya bisa di andalkan ketika kita memang membutuhkan partner bercerita. Saya, kerap hanya bisa berdiam diri. Tak banyak yang bisa saya ucap atau utarakan lebih banyak ketika menghadapi situasi sulit. Nikmati kesulitan dan cari jalan keluar adalah upaya mengembangkan diri sendiri tanpa perlu bantuan orang lain. Dan jika ‘mentok’, maka keluarga adalah bagian terakhir dari pencarian solusi. Saya, seperti yang orang lain tahu, nampak terlhat banyak teman. Dan itu memang benar. Saya juga kerap menghabiskan waktu berjam jam bersama teman. Tapi tidak semua sosok yang ada ketika kebersamaan tersebut benar benar ada ketika kita butuh. Bukan butuh apa pun, hanya butuh ingin di dengar, di temani untuk berbagi dan bercerita banyak hal. Saling menanggapi satu sama lain, dan syukur syukur jika bertemu solusi. Hahaha…. Tapi zaman ini, bukanlah lagi bisa di kata sebagai zaman solidaritas. Karena tak semua yang kita lakukan memang akan di anggap baik oleh orang lain. Terkadang apa yang telah kita lakukan di dulu kala, dianggap hanya sia sia dan tak berguna di waktu kini. Begitu pula dengan banyak kisah dan pengorbanan yang tercatat sebagai bagian yang tak biasa malah berakhir hampa dan hilang tanpa bekas. Begitulah pertemanan kekinian. Sebuah hubungan yang bisa jadi hanya sebagai persinggahan kala suka tapi sebagai jalan menghindar kala duka. Bisa jadi pula hal hal kecil kemudian tak jadi persamaan kedua belah pihak sehingga ketika hal besar hadari tak begitu menjadi perkara besar. Karena segalanya akan berakhir jadi kisah. Hanya sekedar kisah. Dan akhirnya, sampai pada kesimpulan melegakan untuk diri sendiri. Saya hanya bisa berucap syukur bahwa saya masih punya keluarga yang sangat menyokong dalam banyak hal. Dan yang paling penting saya punya kekuatan yang berasal dari dalam diri. Sehingga saya masih bisa melakukan apapun yang saya anggap baik untuk diri ini. Saya masih bisa mengontrol segala kondisi yang datang dan pergi dan hinggap dalam jiwa. Ada yang baik. Tapi banyak pula yang tidak baik. Pertemanan hanyalah datang ketika ada yang membutuhkan. Ketika kebutuhan di rasa tak lagi perlu maka sesegera mungkin gelar ‘teman’ akan hilang tersapu debu. Begitu pula dengan kisah kisah yang lain. Teman, tak ada. Sahabat pun tak lagi percaya. Andalkan diri sendiri saja. Itu yang utama.

Thursday, September 13, 2012

SORE DI PERPUSTAKAAN

Sore sepulang beraktivitas, saya merencanakan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan di sebuah Perguruan Tinggi di kota Bandar Lampung yang bisa saya masuki leluasa meski saya bukan Mahasiswa Kampus tersebut. Terkadang menghabiskan waktu berjam jam di sebuah Perpustakaan yang lengang adalah sebuah moment dimana saya bisa membangkitkan gairah menulis, menganalisa, bahkan memupuk banyak ide ide yang muncul karena terinspirasi oleh banyak hal yang saya baca. Berlama lama dalam sebuah Perpustakaan telah saya lakukan sejak jaman Sekolah Menangah Pertama dulu. Terlebih saya bukanlah sosok pelajar yang populer di lingkungan sekolah. Saya pula bukan sosok murid dari keluarga terpandang atau berharta, sehingga kondisi tersebut membuat saya tidak bisa menghabiskan waktu berlama lama dalam kantin untuk makan sekenyangnya, atau tidak pula mampu membuat saya berlenggang santai di pusat perbelanjaan akibat tipisnya uang saku yang orang tua saya berikan. Hingga kini, kebiasaan meluangkan waktu dalam Perpustakaan seolah menjadi menu wajib di kala senggang selain berkunjung ke beragam Toko Buku dengan hanya sekedar membaca synopsis buku baru atau best seller kemudian merencanakan untuk membelinya ketika ada pos keuangan yang cukup untuk membeli buku setelah pos pengeluaran sandang dan pangan rumah tangga kecil saya tercukupi. Sore itu, - seperti biasa – saya mengambil posisi di pojokan Perpustakaan dengan kapasitas tempat duduk cukup ramai. Dan ketika itu, telah ada lebih dulu beberapa mahasiswa yang juga menempati tempat duduk di beberapa tempat. Beruntung saya masih mendapatkan sudut baca yang cukup ideal (menurut saya) – berada di sudut ruangan, kursi single bersandar di dinding menyudut, setengah tertutup oleh rak buku memanjang arah vertical tepat di depan, sehingga jika saya duduk maka hanya pundak saya saja yang terlihat dari kejauhan. Selain itu ada bentangan kaca jendela yang cukup besar di sebalh kiri yang sekali waktu bisa saya pergunakan untuk melihat aktivitas beberapa mahasiswa di luar ruang perpustakaan. Dalam Perpustakaan dimana saya duduk, ada sekitar 14 orang mahasiswa beraneka gender dan usia maupun rupa. Diantara mereka ada yang sibuk main games, beberap diantaranya berdiskusi, banyak diantaranya bercerita yang tak ada hubungannya dengan buku apapun karena mereka tidak memegang buku apapun sebagai bahan bacaan atau diskusi. Dan hanya beberapa yang memang terdiam menyimak buku yang mereka pegang. Nah, dari sekelompok orang yang bercerita tersebutlah kemudian membuat saya tertarik untuk sesekali waktu mendengar. Karena telinga saya berfungsi dengan baik, dan pembicaraan para mahasiswa dan mahasiswi tersebut bebas mengembara ke dinding dinding perpustakaan tanpa alat peredam suara karena serunya cerita yang cenderung membicarakan hal hal remeh temeh semisal kisah tentang kekasih baru atau selingkuhan mereka, Gedjed terbaru, trend mode mutakhir, sampai pada tempat nongkrong teranyar. Pada saat yang sama, melalui kaca jendela ruangan saya melihat sekelompok mahasiswa asik berbincang di luar perpustakaan, tepatnya di halaman kampus. Hanya beberapa yang memang berbincang mengenai mata kuliah atau tugas yang mereka dapatkan sebagai mahasiswa. Dari kebisingan yang terjadi di dalam ruangan perpustakaan tersebut, kemudian membuat saya tertarik untuk sedikit menyimak bahwa mereka – para Mahasiswa yang asik bercerita dan berbincang banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan atau buku bacaan perpustakaan tersebut, justru adalah mereka yang memiliki kemampuan komunikasi hanya sebatas bercerita dan berbincang seru semata. Faktanya, tak semua mahasiswa kini, mampu dan memiliki kemampuan berkomunikasi sesuai dengan apa yang di harapkan dalam pelajaran setaraf mahasiswa. Gemar membaca di kalangan mahasiswa sangatlah rendah. Dan tentu saja kemampuan komunikasi efektif di kalangan mahasiswa juga rendah. Sebagai seorang pengajar perguruan tinggi, saya kerap menemukan mahasiswa yang sulit sekali bicara di depan kelas pada saat harus mempresentasikan tugas yang di buat. Tak banyak mahasiswa yang dapat melakukan komunikasi dengan lugas. Ini masih dalam tataran mahasiswa di kelas berhadapan dengan sesama mahasiswa – rekan sekampus. Bagaimana jika hal ini terjadi ketika mahasiswa di hadapkan pada kemampuan komunikasi di depan public ; para pemerintah atau pengusaha misalnya , yang mengharuskan mahasiswa memiliki kemampuan komunikasi yang efektif dan persuasive. Belum lagi kecenderungan mahasiswa (dan bahkan sebagian besar masyarakat Indonesia) yang memang gemar berbicara dari pada membaca. Inilah yang kemudian membuat saya menganalisa bahwa gemar membaca di kalangan remaja atau mahasiswa lah yang kemudian membuat mahasiswa tersendat dalam hal kemampuan berkomunikasi. Sedikitnya acuan, fakta atau data yang semestinya bisa mereka dapatkan dari buku bacaan atau sumber data lainnya lah yang membuat kosakata dalam berkomunikasi jadi tersendat. Sehingga minimnya kemampuan komunikasi tersebut dapat memicu adanya tawuran antar pelajar atau mahasiswa. Ketidakmampuan Mahasiswa mengkomunikasikan maksud dan tujuan serta visi dan misi dirinya maupun keinginannyalah yang kemudian menyulut pertengkaran di tengah merek intelegensia yang mustinya ada dalam sosok seorang “Maha – Siswa” . Dalam tahap ini, saya juga kerap melihat adanya ketimpangan yang besar antara kemampuan bercerita yang cenderung ‘ngerumpi’ dengan kemampuan personal dalam berkomunikasi dengan baik. Hingga tidak heran ketika saya lihat banyak yang berbincang dari pada yang benar benar membaca dalam perpustakaan karena mereka lebih berminat ‘ngerumpi’ dan bicara panjang lebar akan banyak hal ketimbang memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan dan ketajaman analisa melalui buku yang mereka baca.