Thursday, August 16, 2012

RUNTUHNYA BENTENG BERTUBUH SETAN

Saya masih memandangi sosoknya ketika nyaris tak lagi bersemangat untuk melakukan apa apa dalam banyaknya tugas rutin yang saya lakukan. Sosok yang sebenarnya tak lagi asing tetapi tak juga membuat saya bosan untuk menikmati setiap lekuk dirinya yang juga sungguh tak begitu baik. Ia, - entah siapa namanya, adalah sosok yang selalu saya temui setiap sore di sebuah kedai kopi langganan dekat kantor. Seperti sebuah kebiasaan yang mendarah daging, saya selalu bersemangat untuk menghabiskan sisa sore sepulang kerja ketika jarum jam menunjukkan pukul 16.00 WIB, dan ketika itu pula muncul sosok tubuh yang selalu jadi pemandangan menyenangkan (setidaknya) untuk sebuah sore yang tepat menghabiskan penat. Sore ini, saya kembali menjumpainya. Sosok yang tenang, bergaya klasik dan konservatif tetapi memiliki makna mendalam dalam setiap gerak yang ia lakukan. Jemarinya seakan menegaskan kekuatan hidup ketika ia memegang secangkir kopi dan merapatkannya di bibir bervolume indah bak lekuk pegunungan yang senantiasa menyejukkan. Itu semua adalah segelintir hal yang membuat saya betah berlama di kedai kopi yang namapk lengang ketika sore tiba. Tepatnya hanya ada saya dan dia dan beberapa orang lainnya yang tak penting bagi saya selain mengganggu keheningan dan konsentrasi saya mengamatinya. Ya, konsentrasi itulah tepatnya saya menyebutkan ketika saya harus memandangi nya berlama lama dalam beragam dimensi dan kemudian berkhayal untuk hal hal di luar batas wajar. Padahal saya tidak pernah mengenal atau bahkan setidaknya memberanikan diri mengenalnya dengan baik. Bagi saya, memandanginya dari kejauhan, berbatas tirai untaian kerang laut nan mungil dan beberapa lukisan menjadikannya sebuah sosok lengkap dengan bayang bayang warna yang kemerlap. Kadang, senyum yang ia tunjukkan ketika berbincang dengan seseorang via handphone adalah moment dimana senyuman tersebut di tujukan pada saya. Dan jika ia sedang terdiam menerawang entah kemana atau mungkin sedang berfikir, di saat itulah saya berharap ia memikirkan saya. Kemudian bergegas menghubungi saya dengan sebuah ajakan pergi kesuatu tempat pilihan nya yang sudah barang tentu tak akan saya tolak, meski ke ujung dunia sekali pun. Hhhmmm…. Layaknya saya mengharap banyak terhadap sosok yang selalu membuat saya betah sepanjang sore. Tapi tak hanya itu, bisa jadi saya menikmati keutuhan dirinya sebagai seseorang yang menarik fisik karena memang apa yang ia tampilkan benar benar ada dalam skala ‘pas’ versi saya. Entah versi orang lain. Dan itu tak penting. Bagi saya, cukuplah mengaguminya adalah sebuah kesempatan terbesar yang ia berikan pada saya. Kehadirannya di Kedai Kopi ketika saya pun ada di sana adalah sebuah moment berharga sepanjang sore sebelum Fajar menjelang dan kemudian berganti malam dan lalu ia pun menghilang bersama gelapnya malam. Tapi segalanya nampak beda di suatu sore, ketika ia hadir bersama sosok sosok lain yang tak begitu menyenangkan untuk saya lihat sebagaimana pemandangan sebelumnya. Ia datang bersama kumpulan manusia beraneka bentuk. Selain ia yang sempurna dimata saya, ada sekumpulan tubuh tambun berukuran lemari pakaian lengkap dengan kepala Beruang dan Kepala Singa berlumur darah di sampingnya. Ada pula Sosok langsing yang melebih ukuran langsing manusia normal berkepala ular dengan lidah menjulur julur bak kehausan darah manusia. Belum lagi rekan nya yang lain, yang tak begitu menyenangkan untuk di lihat, selain tubuh kering tak bertenaga , lemah bagai pesakitan dengan kepala sebesar gajah Thailand dan semua nampak kontras di hadapan tubuh nya yang saya pandangi sangat sempurna di banding bentuk tubuh lainnya yang ada di sana. Mereka berpesta, merayakan sesuatu, mereka bercerita banyak hal hingga melupakan estetika kesopanan bergaul di ruang public. Dan mereka pula melakukan aksi aksi yang mebuat saya ingin muntah. Kamu tahu, bahwa saya membicarakan rasa yang aneh ketika melihat ia dan rekan rekannya yang bagaikan mahluk ruang angkasa yang siap membinasakan rasa kemegahan tahta yang telah saya bangun sejak lama. Sejak sore sore dalam kurun waktu beberapa minggu belakangan. Dan yang lebih menjijikkan ketika ia harus melihat kearah saya dan kemudian di ikuti lirikan para manusia berkepala binatang lainnya seraya tertawa dan kemudian mendekat semakin mendekat, “ ikutlah bergabung bersama kami, ..” ajak sang Manusia berkepala Singa dengan gigi runcing nya bak kepala pintu neraka Saya masih terdiam. “ Kamu akan menemukan kebahagiaan bersama kami.. “ ucap gadis bertubuh langsing tak normal dengan rambut menjuntai terkibas kibas kipas. Saya tetap tak bergeming dan tak bersuara, selain hanya tertarik pada sosok tegap bak benteng kokoh dalam kungkungan kawat berhasrat liar di sekitarnya. Sungguh kemudian tak lagi menarik sama sekali untuk di ingat. Betapa sosok membanggakan itu yang dulu menjadi impian terpendam untuk di raih dan jika bisa di miliki ternyata tidaklah seindah yang saya lihat ketika ia bersama sosok sosok binatang buas yang ia agung agungkan dan bahkan ia fikir terbaik dari semua mahluk di muka bumi. Bisa jadi ia tak tau, hingga ia berkata “jangan pulang lebih awal sebelum saya menghilang….” Ucapnya lirih kea rah saya sembari meneguk minuman yang bisa jadi telah memabukkannya. “Tahukah kamu, bahwa aku menyukai kamu sejak beberapa minggu lalu. Dan tanpa sepengetahuan mu, saya telah berangan angan untuk menjadi teman tidur mu walau hanya sekali dan rela kamu bawa kemana saja.” Ucap saya di telinganya di antara pada manusia berkepala binatang yang mulai mencibir. …” dan ketika sore ini terjadi, ketika saya tahu siapa orang orang yang ada di sekitar mu dan yang memang dalam lingkungan hidupnya sebelumnya, saya tak lagi berminat.!” Tegas saya sembari memegang pundaknya, seolah menegaskan bahwa saya membenci dirinya dan teman temannya yang bukanlah manusia sebenarnya layaknya manusia lain. “ Kamu..” lanjut saya, …” dan hidupmu, adalah hal yang hanya indah untuk di lihat, di perhatikan, tanpa perlu di ikuti ataupun di dengarkan. Karena kalian tak ubahnya seperti setan berwujud manusia. Hanya itu. Selebihnya, Kalian setara dengan Binatang dalam lingkungan Sosialita tanpa nyawa.”. Dan saya berlalu. Meninggalkan bekas tamparan berupa kata yang bisa saja menyakitinya. Dan kemudian saya melupakannya layaknya saya melupakan kotoran yang saya buang dalam jamban mengerikan di dunia. Setidaknya, saya telah merengkuh bahunya yang sungguh kuat bagai baja. Meski ia tak ubahnya hanya Benteng ykuat dalam hati saya yang telah runtuh akibat ulah gilanya sendiri.

No comments:

Post a Comment