Wednesday, November 28, 2012

FIRMAN, BUKAN SEKEDAR TEMAN.

Namanya Firman. Pria sederhana pekerja sebuah pabrik pengelolaan besi baja di kawasan industry di Provinsi Lampung. Hanya ketika akhir pekan lah ia baru bisa menikmati riuhnya perkotaan dan menjadi pemuda kekinian. Perjumpaan saya dan Firman bermula ketika saya membaca sebuah buku sastra karya Rabindranath Tagore – Penulis kegemaran saya, di sebuah ruang tunggu apotek di rumah sakit swasta di Bandar Lampung. “Mas, buku yang mas baca sama dengan buku milik almarhum Ayah saya.”. Ucap Firman membelah keseriusan saya kala itu. Meski sedang asik menikmati karya seorang penulis sastra peraih nobel, saya langsung terhenyak ketika Firman mengutarakan bahwa ia tahu buku yang saya baca dari almarhum Ayahnya. Sejak itulah segalanya bermula. Kemudian saya tahu bahwa Firman yang masih berusia 28 tahun itu harus menghentikan sejenak obsesinya untuk jadi mahasiswa Strata Satu karena harus bekerja menghidupi 2 adik dan ibu nya yang sakit sakitan sejak di tinggal mendiang ayahnya. Firman adalah sosok sederhana nan humoris tetapi penuh makna yang tersirat dari gerak dan tutur kata nya. Belum pernah saya menemui sosok seperti Firman. Di antara banyaknya rekan dan teman teman yang saya miliki, tak ada yang seperti Firman. Ia adalah sosok istimewa dalam bungkus kesederhanaan. Ia tak banyak balutan palsu layaknya busana bermerek dan juga tak memusingkan tanggapan orang tentang dia. Selain tak punya cukup dana untuk bergaya stylish tentu Firman bukan sosok yang memikirkan tampilan layaknya anak muda lain (termasuk saya juga, hahahah). Lantas, kedekatan saya dan Firman berlanjut ketika kami memiliki hobby yang sama, yakni membicarakan masa depan. Diam diam, Firman menyimpan banyak obsesi dan angan angannya di masa mendatang. Ia dengan lantang menyebutkan arah tujuan hidupnya kedepan. Saya, selain menyimpan rapat rapat impian demi impian saya, kerap memposisikan diri sebagai pendengar saja. Firman juga pernah berucap akan kegamangan ia belum menemukan jodoh, dan di tambah ke-takutan nya ketika nanti menikah. Hal yang dulu juga pernah saya rasakan. Setidaknya, Firman memberikan saya lahan kebebasan dalam berkata dan berbuat. Menjadi sosok diri saya sendiri. Menikmati kesederhanaan. Tak pernah memusingkan apa yang orang lain cap terhadap kita. Firman juga mengajarkan pada saya bagaimana melalui hari demi hari dengan selalu bersyukur. Mensyukuri segala yang di dapat dan di alami sebagai bagian dari syukur sebagai mahluk ciptaan sang maha kuasa. Dari Firman pula saya mulai sedikit demi sedikit menanggalkan ke-gilaan akan obsess yang berlebihan. Yang terkadang menyiksa dan tak begitu nyata. Hal hal yang cenderung mimpi. Sama dengannya impian banyak orang untuk bisa kaya raya dan memiliki segalanya tapi dari Hasil Korupsi. Saya dan Firman lantas mengucap Syukur karena orang tua kami bukan Pejabat yang tenar dan kaya raya tetapi dari hasil korupsi dan lantas berakhir dalam bui. Saya dan Firman juga menyepakati akan sebuah aturan bahwa hidup kami hanyalah kami yang tahu bagaimana menjalani dan mengakhirinya. Segalanya jadi sama. Firman, teman yang baru saya kenal 3 minggu terakhir tetapi sudah seperti bertahun tahun ia member warna dalam hidup dan langkah seorang Indra. Sama dengan sosok teman teman yang sejak dulu sudah ada dalam langkah hidup saya.

No comments:

Post a Comment