“ingin tahu batas kebesaran jiwa seseorang, tatkala ia mendapat masalah dan berupaya
sekuat tenaga bangkit dan keluar dari masalah tersebut”.
Begitulah Pepatah lama yang selalu terngiang di kepala ketika
saya berada dalam posisi yang tak terlalu menyenangkan.
Kali ini, telah sekian banyak tugas kedinasan yang saya
lakoni, bisa jadi ini adalah tugas dinas yang cukup mengikat saya dalam suasana
tak begitu nyaman. Bukan berarti tak baik, tapis etidaknya mengajarkan saya
untuk sekuat tenaga berdamai dengan segala ketidaknyamanan yang ada. Yang
datangnya dari sebuah resiko tugas.
Saya, adalah salah satu dari puluhan rombongan dari
Pemerintah Kota Bandar Lampung yang tergabung dalam team event APEKSI yang di
gelar di Kota Palangkaraya – Kalimantan
Tengah.
Tak pernah terbersit hal hal lain dalam benak saya ketika
mendapati diri harus ke Palangkaraya bersama team kesenian seperti biasanya
saya lakukan. Saya juga tak pernah menaruh harapan tinggi atau terlalu mewah
terhadap sebuah kunjungan ke beragam wilayah di tanah air. Saya dan teman teman
dalam team pertunjukan Kesenian Kota Bandar Lampung selalu optimist mendapatin
sebuah pengalaman baru dari tiap kunjungan ke beragam daerah di Nusantara.
Tiba di kala siang terik di Kota Palangkaraya berubah menjadi
hujan yang sangat deras, hingga singgah di sebuah Hotel Banama Tingang –
Tepatnya Losmen. Dengan kondisi yang tak begitu baik untuk sebuah tempat
bernama ‘Hotel’. Menurut informasi. Hotel Banama Tinggang adalah Salah satu
Hotel yang cukup baik di Kota Palangkaraya. Ketika memasuki kamar nya pun saya
dan teman teman cukup berpuas diri. Setidaknya ada AC dan berkamarmandi bersih.
Itu sudah lebih dari cukup selain ada Televisi 14 Inchi tanpa remote control
dan hanya tersedia beberapa channel TV. Toh, kami pun bukan pencari kemewahan
hidup. Karena kami tahu ini Kota Palangkaraya. Bukan salah satu Kota Gemerlap
di Nusantara ini.
Tapi, rasa pemakluman yang kami lakukan tidak hanya terjadi
begitu saja. Setidaknya ada keramaian yang mebentang luas di depan hotel, ada
banyak tempat makan, ada pilihan banyak warung warung yang menjajakan
ke-khas-an Palangkaraya dalam sajian hidangan yang cukup menggugah lidah
mencicipinya.
Selain keramaian
sekitar Hotel, ada pula bentangan sungai Kahayan di belakang hotel yang cukup menanangkan
diri. Sejauh mata saya memandang sepanjang sungai, suasana asri pedesaan khas
Indonesia bersanding lekat dengan gemuruh majunya perkotaan. Beruntung sungai
dan beberapa rumah panggung di sepanjang sungai tak termakan pesatnya hedonism
perkotaan. Meski sebenarnya jika di beri sentuhan lebih modern, sungai Kahayan
akan menjadi potensi object wisata yang bisa jadi unggulan di Kota
Palangkaraya. Hamparan jajanan pasar dan gorengan khas warga Dayak dan Sampit
bersandingan rukun di sepanjang sungai Kahayan. Selain itu, keramahan warga
setempat dalam menyambut kehadiran kami cukup terasa. Nampaknya para warga
memahami sosok sosok pendatang dari logat bicara kami. Yang sempat saya ketahui
bahwa di dalam Kota Palangkaraya sendiri ada banyak bahasa daerah yang berlaku.
Antara suku Dayak, Sampit, suku Banjar dan Suku asli Palangkaraya sungguh rukun
berdampingan. Sesaat fikiran saya mengawang awing tinggi. Membayangkan betapa
indahnya Indonesia ini. Selalu tertanam di diri saya rasa bangga pada negeri
ini. Meski banyak masalah kehidupan yang mencerminkan bobrok nya kemapanan
mental dan jiwa personal akan kondisi masalah yang ada. Tapi setidaknya saya
selalu bangga menjadi bagian dari Negeri Indonesia. Sama halnya dengan bangga
nya saya akan budaya asli yang terpampang di depan saya yang terwuju dalam
pembawaan dan perilaku asli warga Kota Palangkaraya.
Begitulah kiranya kebiasaan yang sering saya lakukan ketika
keluar daerah. Mengenali lingkungans ekitar dengan berjalan di sekitar hotel
dimana saya berada. Menikmati keaslian daerah yang tak akan saya temui di
daerah lain. Memahami keunikan dan keragaman yang terpampang nyata dalam
balutan kehidupan sehari hari yang begitu asri.
Di belahan waktu lain, tepat di Bandar Lampung, saya terfikir
akan event yang masih berlangsung. Pemilihan Muli Mekhanai Kota Bandar Lampung
yang telah memasuki masa masa kegiatan Finalist yang begitu padat. Tak terasa
telah separuh jalan. Sejak gelaran Audisi di gelar pada Maret lalu. Beruntung
saya punya teman teman team yang hebat menopang rangkaian kegiatan dengan baik.
Dalam benak saya, Kemapanan dalam Sumber Daya Manusia lah yang membuat
segalanya jadi lebih baik di banding yang lain.
Meski dengans egala keterbatasan, meski Blackberry Messenger
tak berfungsi baik bahkan mati sama sekali. Bahkan signal tak baik bahkan WiFi
pun saya harus berpindah dari Hotel ke Pelataran Kantor WiFi yang berjarak 100
meter dari hotel, itupun WiFi hanya di jatahi 1 Jam per satu orang yang
sebelumnya harus registrasi bagi pengguna kartu Telkomsel. Hhhmmm.,….
Perjuangan untuk akses modernitas pun ternyata di batasi. Tapi setidaknya saya
masih bisa mengakses dunia maya 1 jam
dalam semalam.
Sampai pada performa saya dan team, 8 Mei 2013, pada Malam
yang sebelumnya terguyur hujan deras. Pada masa dimana Panggung sempat roboh
akibat kencangnya angin dan hujan. Beginilah perjuangan penampil seni budaya di
daerah lain. Kami tak pernah lelah untuk mengumbar kebahagiaan di atas pentas.
Meski terkadang apresiasi seni dari masyarakat masih tidak terlalu maksimal. Tapi
setidaknya kami menikmati profesi akan
tugas penyampai seni dan budaya Lampung ke beberapa kota dimana kami di
tugaskan. Menikmati segala ketidaknyamanan adalah hal yang menyenangkan dari
apa yang bisa dilakukan dari pada hanya meratapi keterbatasan dan
ketidaksesuaian dalam hidup. Bukan kah tidak ada yang sempurna dan sesuai dalam
kehidupan ini ?. Meski kadang kita telah berupaya maksmial.
No comments:
Post a Comment