Wednesday, May 8, 2013

ALANGKAH RAYA NYA PALANGKARAYA




“ingin tahu batas kebesaran jiwa seseorang,  tatkala ia mendapat masalah dan berupaya sekuat tenaga bangkit dan keluar dari masalah tersebut”.
Begitulah Pepatah lama yang selalu terngiang di kepala ketika saya berada dalam posisi yang tak terlalu menyenangkan.
Kali ini, telah sekian banyak tugas kedinasan yang saya lakoni, bisa jadi ini adalah tugas dinas yang cukup mengikat saya dalam suasana tak begitu nyaman. Bukan berarti tak baik, tapis etidaknya mengajarkan saya untuk sekuat tenaga berdamai dengan segala ketidaknyamanan yang ada. Yang datangnya dari sebuah resiko tugas.

Saya, adalah salah satu dari puluhan rombongan dari Pemerintah Kota Bandar Lampung yang tergabung dalam team event APEKSI yang di gelar di  Kota Palangkaraya – Kalimantan Tengah.
Tak pernah terbersit hal hal lain dalam benak saya ketika mendapati diri harus ke Palangkaraya bersama team kesenian seperti biasanya saya lakukan. Saya juga tak pernah menaruh harapan tinggi atau terlalu mewah terhadap sebuah kunjungan ke beragam wilayah di tanah air. Saya dan teman teman dalam team pertunjukan Kesenian Kota Bandar Lampung selalu optimist mendapatin sebuah pengalaman baru dari tiap kunjungan ke beragam daerah di Nusantara.

Tiba di kala siang terik di Kota Palangkaraya berubah menjadi hujan yang sangat deras, hingga singgah di sebuah Hotel Banama Tingang – Tepatnya Losmen. Dengan kondisi yang tak begitu baik untuk sebuah tempat bernama ‘Hotel’. Menurut informasi. Hotel Banama Tinggang adalah Salah satu Hotel yang cukup baik di Kota Palangkaraya. Ketika memasuki kamar nya pun saya dan teman teman cukup berpuas diri. Setidaknya ada AC dan berkamarmandi bersih. Itu sudah lebih dari cukup selain ada Televisi 14 Inchi tanpa remote control dan hanya tersedia beberapa channel TV. Toh, kami pun bukan pencari kemewahan hidup. Karena kami tahu ini Kota Palangkaraya. Bukan salah satu Kota Gemerlap di Nusantara ini. 
Tapi, rasa pemakluman yang kami lakukan tidak hanya terjadi begitu saja. Setidaknya ada keramaian yang mebentang luas di depan hotel, ada banyak tempat makan, ada pilihan banyak warung warung yang menjajakan ke-khas-an Palangkaraya dalam sajian hidangan yang cukup menggugah lidah mencicipinya.
Selain  keramaian sekitar Hotel, ada pula bentangan sungai Kahayan di belakang hotel yang cukup menanangkan diri. Sejauh mata saya memandang sepanjang sungai, suasana asri pedesaan khas Indonesia bersanding lekat dengan gemuruh majunya perkotaan. Beruntung sungai dan beberapa rumah panggung di sepanjang sungai tak termakan pesatnya hedonism perkotaan. Meski sebenarnya jika di beri sentuhan lebih modern, sungai Kahayan akan menjadi potensi object wisata yang bisa jadi unggulan di Kota Palangkaraya. Hamparan jajanan pasar dan gorengan khas warga Dayak dan Sampit bersandingan rukun di sepanjang sungai Kahayan. Selain itu, keramahan warga setempat dalam menyambut kehadiran kami cukup terasa. Nampaknya para warga memahami sosok sosok pendatang dari logat bicara kami. Yang sempat saya ketahui bahwa di dalam Kota Palangkaraya sendiri ada banyak bahasa daerah yang berlaku. Antara suku Dayak, Sampit, suku Banjar dan Suku asli Palangkaraya sungguh rukun berdampingan. Sesaat fikiran saya mengawang awing tinggi. Membayangkan betapa indahnya Indonesia ini. Selalu tertanam di diri saya rasa bangga pada negeri ini. Meski banyak masalah kehidupan yang mencerminkan bobrok nya kemapanan mental dan jiwa personal akan kondisi masalah yang ada. Tapi setidaknya saya selalu bangga menjadi bagian dari Negeri Indonesia. Sama halnya dengan bangga nya saya akan budaya asli yang terpampang di depan saya yang terwuju dalam pembawaan dan perilaku asli warga Kota Palangkaraya.

Begitulah kiranya kebiasaan yang sering saya lakukan ketika keluar daerah. Mengenali lingkungans ekitar dengan berjalan di sekitar hotel dimana saya berada. Menikmati keaslian daerah yang tak akan saya temui di daerah lain. Memahami keunikan dan keragaman yang terpampang nyata dalam balutan kehidupan sehari hari yang begitu asri.

Di belahan waktu lain, tepat di Bandar Lampung, saya terfikir akan event yang masih berlangsung. Pemilihan Muli Mekhanai Kota Bandar Lampung yang telah memasuki masa masa kegiatan Finalist yang begitu padat. Tak terasa telah separuh jalan. Sejak gelaran Audisi di gelar pada Maret lalu. Beruntung saya punya teman teman team yang hebat menopang rangkaian kegiatan dengan baik. Dalam benak saya, Kemapanan dalam Sumber Daya Manusia lah yang membuat segalanya jadi lebih baik di banding yang lain.
Meski dengans egala keterbatasan, meski Blackberry Messenger tak berfungsi baik bahkan mati sama sekali. Bahkan signal tak baik bahkan WiFi pun saya harus berpindah dari Hotel ke Pelataran Kantor WiFi yang berjarak 100 meter dari hotel, itupun WiFi hanya di jatahi 1 Jam per satu orang yang sebelumnya harus registrasi bagi pengguna kartu Telkomsel. Hhhmmm.,…. Perjuangan untuk akses modernitas pun ternyata di batasi. Tapi setidaknya saya masih bisa mengakses dunia maya  1 jam dalam semalam. 

Sampai pada performa saya dan team, 8 Mei 2013, pada Malam yang sebelumnya terguyur hujan deras. Pada masa dimana Panggung sempat roboh akibat kencangnya angin dan hujan. Beginilah perjuangan penampil seni budaya di daerah lain. Kami tak pernah lelah untuk mengumbar kebahagiaan di atas pentas. Meski terkadang apresiasi seni dari masyarakat masih tidak terlalu maksimal. Tapi setidaknya kami menikmati profesi  akan tugas penyampai seni dan budaya Lampung ke beberapa kota dimana kami di tugaskan. Menikmati segala ketidaknyamanan adalah hal yang menyenangkan dari apa yang bisa dilakukan dari pada hanya meratapi keterbatasan dan ketidaksesuaian dalam hidup. Bukan kah tidak ada yang sempurna dan sesuai dalam kehidupan ini ?. Meski kadang kita telah berupaya maksmial.

No comments:

Post a Comment