Thursday, May 3, 2012

SAYA, TAK AKAN MENGULANGI KESALAHAN PAPA DAHULU.

Sesibuk apapun saya, selalu saya menyempatkan untuk punya quality time bersama 3 buah hati saya yang sangat berharga dalam hidup saya. Bagi saya anak anak bukan hanya amanah dari sang pencipta tetapi juga harta yang paling berharga yang saya punya dalam kehidupan ini. Saya memahami betapa tidak mudah menjadi orang tua, karena itulah ketidakmudahan itu tidak menjadikan saya berfikir bahwa mengarahkan anak untuk jadi yang terbaik itu sulit. Sulit hanya bagi mereka yang tidak mau belajar. Bagi saya sulit itu tidak akan terasa jika saya melakukan dan melaluinya dengan segala keikhlasan. Dahulu, Dalam benak saya, saya tidak begitu dekat dengan Papa saya. Saya justru punya banyak memory indah bersama mendiang Mama. Tapi bukan berarti saya mengecilkan peran Papa saya yang setidaknya dalam tubuh saya mengalir darah dirinya. Tetapi justru karena sedikitnya memory bersama Papa itulah yang membuat saya untuk tidak melakukan hal serupa pada anak anak saya kini. Seingat saya, Papa dulu seorang Dokter Puskesmas kecil di Kampung, yang mengabdikan dirinya total untuk melayani pengobatan kepada masyarakat di Kampung itu. Sebenarnya saya pernah mendengar cerita bahwa Papa mendapat promosi naik jabatan untuk menjadi Dokter di Puskesmas Kabupaten Lampung Utara kala itu. Tetapi Papa menolaknya, mengingat kampung halaman kami – Desa Kayu Batu (yang kala itu masuk dalam Kecamatan Sungkai Utara – Kabupaten Lampung Utara) adalah Desa kelahiran sang Papa dan ia memang menjadi tumbuh dan berkembang di Desa itu sebelum akhirnya menempuh studi dan mendapat gelar dokter dari Universitas Swasta di Jakarta. Selain kondisi pedesaan yang asri dengan banyaknya perkebunan dan di dominasi oleh masyarakat yang heterogen dan penuh keramah tamahan serta jiwa gotong royong yang kental, Papa berprinsip bahwa ia akan membaktikan dirinya bagi desa Kayu Batu tersebut. Saya – yang juga lahir di Desa Kayu Batu itu merasakan bahwa Papa sangatlah menikmati pekerjaannya sehingga kerap jarang pulang kerumah tepat waktu layaknya orang tua teman teman saya lainnya di desa. Papa sealu di ‘panggil’ oleh warga yang butuh bantuan pertolongan kesehatan sampai ke kampung sebelah. Di sisi lain saya memaklumi bahwa saya jarang bercengkrama dengan Papa karena kesibukannya. Tapi di sisi lain, ketika saya dewasa menyadari bahwa bisa jadi Papa memang tidak berupaya untuk menciptakan waktu waktu khusus yang sebenarnya bisa ia curi di sela sela kesibukkannya untuk berakrab akrab diri dengan saya dan adik adik kala itu. Tapi memang balik lagi ke personal beliau. Bisa jadi Papa memang sangat lelah setelah berkeliling mengobati warga desa yang kadang kerap membayar dengan ubi kayu atau jagung, atau bahkan dengan berpuluh-puluh buah kelapa sebagai ganti nominal uang tunai. Apapun yang di berikan oleh warga , Papa pasti menerimanya. Terkadang menyambut kedatangan Papa di rumah dengan beragam benda yang selalu berbeda beda setiap hari adalah sebuah kesenangan tersendiri bagi kami sekeluarga kala itu. Sebelum keindahan masa kecil itu lenyap ketika Mama memutuskan berpisah saat saya sedang berada di kelas 4 Sekolah Dasar, karena Mama tidak terima ketika Papa memutuskan untuk menikah lagi dengan Wanita idaman lain. Dan kini, dengan posisi saya sebagai Ayah 3 anak dan di tambah tidak adanya figure Papa sejak kelas 4 SD hingga dewasa, tentu tidak mudah bagi saya untuk menerapkan banyak hal yang kelak akan membekaskan memory indah di benak anak anak saya. Tapi satu yang pasti bahwa saya selalu berkomitmen untuk membahagiakan anak anak meski kadang saya meyakini belum bisa sepenuhnya membahagiakan Istri. Saya selalu bertekad untuk jadi Ayah yang baik bagi anak anak saya apapun kondisinya meski saya tidak bisa menjadi suami yang baik bagi istri saya. Karena jarangnya saya di rumah. Mengingat beragam tugas dan beban kerja multi tasking yang saya lakoni sepanjang hari. Tapi uniknya, tekad saya untuk membahagiakan anak anak saya itu selalu saja ada jalan dan caranya. Terkadang melihat anak anak selalu di rumah bersama istri tercinta terbersit rasa sedih dan kemudian memutuskan untuk membawa mereka semua berjalan jalan keluar rumah, entah hanya sekedar makan malam bersama meski hanya di warung tenda atau lesehan pinggir jalan sampai ke restoran mewah ketika sedang ada rezeki lebih. Terkadang saya menyempatkan berjalan dengan anak anak saya yang masih berusia di bawah 7 tahun, 5 tahun dan 2 tahun. Kadang berjalan bersama anak anak tersebut menjadikan saya sosok pria yang telaten. Saya secara spontan mengajak mereka ke pusat keramaian tanpa Istri tercinta. Atau kadang saya mengambil alih posisi sebagai pengasuh ketika Istri saya harus melakukan pekerjaan rumah atau acara arisan yang tak memungkinkan memboyong serta anak anak. Dan jadilah saya pria pengasuh 3 anak kecil yang selalu menjadi perhatian banyak orang yang berpapasan dengan saya. Saya tak pernah sungkan untuk menunjukkan bahwa saya punya waktu bersama ke tiga buah hati saya dengan turut mengikuti tingkah polah anak anak ; ikut asik terlibat dalam permainan Time Zone, Ikut memilihkan buku dongeng di Gramedia. Ikut minum Ice Cream bersama dan kadang berbagi makanan saling cicip di lokasi makanan cepat saji. Itu semua saya nikmati ketika punya waktu luang. Dan ketika saya bersama anak anak, saya melupakan bahwa saya pria dewasa yang sesungguhnya tak pantas bermain bersama dan bercengkrama serta memakan makanan anak anak di depan umum dengan sangat intimnya. Tapi benar benar saya nikmati. Dan saya tidak begitu perduli dengan pandangan atau penilaian orang tentang saya. Bagi saya kebersamaan dengan 3 buah hati itu adalah kenikmatan tersendiri yang tak terbayar dan merupakan ruang saya dalam merileksasi diri di tengah kepadatan kegiatan dan penatnya pekerjaan yang saya jalani. Sama halnya dengan menghabiskan waktu dengan ‘me time’ bersama teman teman pria lajang lainnya. Menghabiskan waktu sepanjang sore bersama anak anak adalah kebahagiaan sendiri bagi saya. Melihat raut bahagia dan tertawa lepas mereka adalah kebahagiaan yang tak terbayarkan dan tak ada bandingnya bagi saya. Terlebih ketika mereka memeluk dan mencium pipi saya dan mengucapkan terima kasih karena telah membuat mereka senang. Oohh… itu bagaikan Hadiah kehidupan yang tak ternilai. Rasanya tak berlebihan jika saya sangat larut ketika bersama anak anak. Bersama mereka, saya jadi tahu apa yang menjadi minat dan bakat mereka. Termasuk saya memahami secara langsung watak dan karakter personal yang berbeda beda dari 3 anak anak saya itu. Kebersamaan seperti itulah yang dulu saya inginkan dari Papa saya yang juga super sibuk. Ketika kecil saya hanya bisa melambaikan tangan ketika Papa berangkat kerja dan kemudian saya tak tahu kapan Papa kembali ke rumah karena saya telah tertidur pulas, dan bertemu lagi keesokan pagi dalam suasana sarapan pagi sebelum berpamitan berangkat sekolah. Tapi ketika dewasa saya tak lantas melakukan apa yang dulu Papa saya lakukan. Kebiasaan yang menurut saya kurang tepat itu saya ubah menjadi sebuah jadwal kebersamaan yang selalu saya selipkan di antara jadwal jadwal padat saya dalam banyak bidang kehidupan. Tak berlebih kiranya bahwa saya bertujuan untuk menanamkan memory indah di benak anak anak saya akan apa yang saya lakukan sebagai Ayah mereka. Saya hanya ingin anak anak saya tahu betapa saya mencintai mereka dengan senantiasa berlaku seadil mungkin dalam membagi waktu antara pekerjaan, karier, obsesi diri, organisasi, kesenangan pribadi dan porsi kebersamaan dengan mereka - anak anak saya. Saya tak ingin mereka dewasa tanpa ada memory indah dengan saya – Ayah mereka, layaknya Saya yang tak begitu bisa mengingat banyak keindahan bersama Papa saya ketika belia dulu. Tapi saya tetap bangga pada Papa saya. Karena ia tidak menanamkan memory kedekatan itulah sehingga saya berfikir sebaliknya. Setidaknya saya bisa berfikir bahwa saya tidak akan mengulangi kesalahan yang telah ia lakukan terhadap saya dan adik adik dan istrinya di kala itu.

No comments:

Post a Comment