Tuesday, April 10, 2012

KISAH RAGA DAN SAYA.


Sebenarnya, tak masalah kamu pria atau wanita, juga tak masalah jika kamu masih muda atau telah banyak usia. Yang jadi masalah dan sangat menyiksa adalah ketika kamu berlaku baik padahal tidak. Tidak sama sekali. Ketika kamu harus tersenyum manis di hadapan banyak orang yang melihat tetapi hati kamu sedang menangis karena menahan kekecewaan yang cukup besar. Tapi bukan tidak mungkin hal tersebut menghinggapi setiap pribadi di satu waktu. Karena begitulah kita. Setiap pribadi akan di tempa oleh sebuah keadaan yang mengharuskannya melakukan sedikit sandiwara yang terkadang terasa tak begitu nyaman untuk alasan apapun. Tapi di lain pihak kita juga tak mungkin menyatakan rasa yang sebenarnya ada dalam diri kita ketika berhadapan dengan banyak pihak dan ketika ke-profesionalitas-an kita sedang di tuntut ber-performa baik.

Begitulah gambaran imaji yang bisa saya kiaskan dalam jabaran kalimat yang entah apa tepat atau tidak. Tapi itu yang telah terjadi sesaat sebelum saya menuliskan rasa jiwa saya ini dalam bentuk tulisan panjang kelak.

Sebut saya – Raga, sebuah nama.

Ia adalah sosok yang telah lama saya kenal. Berperilaku baik dahulu hingga kini – bagi saya pribadi. Selain itu Raga adalah seseorang yang tahu betul siapa saya dan bagaimana saya sejak dulu, begitupun sebaliknya saya mengenal Raga bukan hanya tampilan luar tetapi seluruh sudut dan lekuk organ tubuhnya pun saya mengenalinya.
Persahabatan dekat, sangat dekat, lebih dari Saudara bahkan bisa jadi tak wajar di sebut hanya berteman baik membuat saya dan Raga jadi lebih tahu karakter masing masing bahkan kadang kami merasa ada sebuah hamparan kewajaran yang tak perlu di kompromi antara hati kami masing masing. Tak perlu ada gambaran jelas dan pasti layaknya awam melihat, tetapi setidaknya gambaran kedekatan dan akur nya kami menjadi tolak ukur betapa semua hal baik itu terus di lakukan untuk mempertahuankan tali jiwa tersebut.

Itu Dulu,

Bahkan, dulu juga kami tak lagi mengenal batasan untuk hal hal lumrah dan tak tabu di khalayak. Seperti sebuah kembar siam, apa yang saya rasa dia pun merasa, apa yang saya fikir kan ternyata Raga pun mengatakan hal yang sama akan sebuah pemikiran yang bersinergi.

Itu juga Dulu.

Sebuah hal hal dulu yang sungguh indah jika di gambarkan dalam goresan warna, bukan hanya 12 jenis warna layaknya sebuah keharusan mengenal warna di bangku TK, tetapi ada banyak pecahan warna mencapai segi ribuan kisi dalam batiniah dan imaji bagi siapa saja yang menikmati warna warna tersebut.


Hingga sesuatu terjadi,

Sebuah perselisihan yang sebenarnya bisa di bicarakan baik baik tanpa perlu mengedepankan emosi sesaat. Kata maaf pernah terucap bukan hanya dari saya tapi juga ia. Bahkan kami juga pernah memberlakukan jarak yang tak sewajarnya di lakukan oleh karib melebihi kerabat sangat. Saya juga tak bisa menggambarkan jelas asal muasal perselisihan yang setelah itu terjadi membuat kerenggangan komunikasi bahkan kedekatan menjadi basi.

Saya pun kemudian menenggelamkan diri dalam banyak kesibukan. Bagi saya hal terbaik mengusir diri dan wajahnya serta ketergantungan saya akan dia sejak dulu adalah dengan melakukan banyak aktivitas. Banyak kembali pada hal hal yang menyenangkan dan menggembirakan batiniah dan imaji saya saja. Tak beda jauh mungkin dengan Raga. Ia pun tentu melampiaskan kekesalan untuk melupakan saya dan kenangan yang dahulu teruntai dengan melakukan hal hal yang sama sekali tak pernah ia ucap bahwa ia menyukai melakukannya. Ia memanjat tebing, ia melakukan hiking, ia bersepeda santai, ia juga menggabungkan dirinya pada club bola. Yang semua itu bukan ia yang sebenarnya. Saya tahu sekali itu bukan dia. Dan yang saya tahu kemudian bahwa ia sengaja menghapus saya dari hidupnya dengan tidak lagi menyentuh area yang mengingatkan ia akan diri saya. Ia tinggalkan dunia music, ia tinggalkan dunia panggung, ia juga tidak lagi suka akan sastra – sesuatu yang selalu saja jadi bahasan utama kami berdua ketika bersama. Ia juga tak lagi suka dengan bintang gemintang di angkasa – tak seperti dulu kami selalu memandangi kelip gemintang dan menghitungnya tampa jemu meski mulai terkantuk di tengah malam.

Ia berubah. Dan saya tahu itu. Meski tak ada yang berubah pada saya akan tetap selalu membanggakan dia di depan siapapun bahkan selalu bersemangat menceritakan dia pada siaapun yang bertanya dan layak saya beri tahu tentang sebentuk Raga.
Hingga Raga di depan saya.

Tepat 5 Jam sebelum saya menulis ini semua.

Dan ia berlagak tak mengenal saya. Tak membalas senyuman tulus tanda bahwa saya pernah mengenalnya. Ia pula tak memberikan sinyal bahwa mengetahui diri saya ada di hadapannya meski tak begitu berdekatan, meski berjarak puluhan orang dalam satu ruangan. Meski saya menyimak semua gerak geriknya dan ia tetap saja acuh dan seolah tak ada saya. Bahkan saya telah terang terangan dengan riang menyebut nama lengkapnya di hadapan banyak orang. Pun ia tetap dia. Tetap tak menunjukkan gelagat bahwa ia mengenal saya. Dan itu menyakitkan. Karena salah satu hal yang menyakitkan bagi saya adalah ketika berhadapan dengan orang yang dulu pernah sangat dekat dengan saya tetapi berpura pura tidak mengenal sama sekali, hanya karena sebuah perselisihan dulu kala yang sebenarnya telah tuntas dan usai di bahas.
Dan saya masih berharap ada pesan singkat atau pembicaraan padat via media dari nya yang menjelaskan hal sepele sekalipun.

Wednesday, April 4, 2012

MATA BICARA


Sesuatu yang selalu saya simak ketika seseorang berbicara kepada saya bukanlah penampilannya, melainkan Mata nya. Mata bagi saya bisa mengungkapkan hal yang sebenarnya yang tak terlintas secara kasat mata banyak pihak. Entah mengapa sejak dulu saya paling suka menatap mata lawan bicara saya. Bagi saya seseorang itu jujur atau tidak, tulus atau tidak, semua akan tersirat dari mata, melalui binar binar dan kerlingan entah itu bening atau nakal, segalanya terlihat jelas. Dan bagi saya, Mata seseorang itu lebih banyak mengungkapkan hal yang sebenarnya ketimbang ia bicara banyak hal yang terkadang tidak begitu sesuai dengan binar matanya.

Mungkin karena pengaruh almarhumah Mama dulu yang selalu memelototi saya dengan jeli ketika saya berbicara sesuatu. Saya juga selalu ingat bahwa Mama mengajarkan pada kami - anak anak nya, untuk selalu menatap matanya ketika berkisah tentang sesuatu atau menceritakan risalah kami masing masing. Dan entah dari mana pula, terkadang timbul rasa yang lain pada mata ini ketika saya jujur atau berbohong. Saya masih ingat betul bahwa Mama bersikeras meyakinkan bahwa saya berbohong karena ia melihat dari binar mata saya yang tak meyakinkannya. Semakin keras saya berucap tidak semakin keras pula Mama meyakinkan dirinya ke saya bahwa saya bohong. Ahhh,,, itulah ketepatan mendiang Mama dalam menangkap sebuah hal yang tak tersirat tapi tercatat jelas melalui binar mata.

Sampai kini, saya selalu menerapkan ilmu mudah tetapi sulit yang selalu Mama ajarkan ke saya sejak dulu itu, Sebuah ilmu berkomunikasi yang kadang luput dari perhatian. Ilmu komunikasi cenderung mengajarkan bagaimana cara bicara yang baik dan efektif, bagaimana menyampaikan sebuah pesan terhadap lawan bicara, dan lain sebagainya. Tapi tak banyak teori komunikasi yang menjabarkan pentingnya body language khususnya mata. Bola mata ketika bicara itu sangatlah memegang peranan penting. Bukan berarti ketika bicara kita harus membelalakkan mata selalu, tapi setidaknya mata yang antusias, mata yang simpatik sampai dengan mata yang meremehkan itu akan mudah terlihat dengan jelas. Mata seseorang yang antusias dengan yang menganggap sepele tentu akan berbeda terlihat meski ia membuat gestur tubuhnya seolah olah tertarik pada topik pembicaraan. Begitu pula dengan gerak tubuh. Body language akan tidak ada artinya ketika tidak di dukung dengan binar mata yang sesuai dengan apa yang tergerak melalui organ lengan, bahu dan lainnya.

Nah, kini, ketika pekerjaan saya berhadapan dengan banyak orang dan menuntut saya untuk berperan penuh bukan hanya terhadap kemampuan komunikasi masa tetapi juga bagaimana memanfaatkan gestur yang baik, termasuk di dalamnya binar mata ketika berhadapan dengan beragam pihak masyarakat. Berkat pelajaran dari mendiang Mama pula lah, saya kini bisa tahu ada orang yang hanya basa basi atau tulus, Ada sosok wanita profesioanl anggota perkumpulan organisasi yang terkenal terpandang tetapi tidak tulus dalam bicara. Ketika berhadapan dengan saya matanya menyelidik penuh terhadap merek tas yang saya usung atau merek kendaraan yang saya pakai. Bisa jadi mata mata angkuh sedikit perhitungan itu menyelidiki bahwa saya tidak selevel dengannya yang sangat kaya raya di banding saya yang sederhana. Tapi ada pula sosok wanita wanita muda yang juga sama Kaya Raya nya dengan wanita sebelumnya. Tapi tak pernah ada siratan dari bola mata keangkuhan. Meski begitu kejujuran dan nilai kemanusiaan terlihat jelas dari bersit matanya ketika berbincang. Tutur katanya sesuai dengan binar mata. Itu yang terkadang luput dari kegiatan basa basi ketika bertemu. Terlebih nampak ketika memuji seseorang. Pujian yang tulus dengan yang ala kadarnya pun jelas nampak dari sorot mata yang tentu berbeda. Bukan masalah ukuran mata yang besar, kecil, tipis, sipit, bulat atau apapun bentuk matanya, tidaklah berpengaruh. Karena sirat mata tak pernah berbohong meski di tutupi oleh kecamata sekalipun. Karena siratan mata pula akan terpancar dari tekstur wajah yang juga akan mencerminkan kebenaran dari sorot mata si pemiliknya.